Lombok, sinarlampung.co-Polsek Kayangan, Polres Lombok Utara, Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) diserang dan dibakar oleh massa, Senin 17 Maret 2025 sekitar pukul 20.00 WITA. Massa yang diduga berasal dari Dusun Batu Jompang, Desa Sesait, Kecamatan Kayangan, menyerang kantor polisi dengan amukan yang tak terkendali.
Informasi di Lombok Utara menyebutkan serangan terjadi akibat salahpahan tuduhan pencurian ponsel yang melibatkan ASN yang sudah berdamai. Namun meski sudah berdamai sang ASN diduga terus mendapat teror dari oknum Polisi yang meminta sejumlah uang untuk mencabut kasus yang dilaporkan ke Polsek.
ASN bernama Rizki Wantoni sempat curhat kepada ayahnya itu diduga depresi lalu bunuh diri. Mendengar kabar itu, massa mengamuk dan menyerang markas polisi, bahkan terjadi pembakaran kendaraan milik petugas. Kaca dan fasilitas kantor juga dirusak oleh warga.
“Awalnya Rizki ini salah ambil HP yang dicas di toko. Korban sudah damai, sudah bayar denda. Tapi ada tekanan dari oknum polisi hingga ASN itu bunuh diri. Dan kisahnya ditulis sebelum bunuh diri,” Ujar warga di lokasi kejadian.
Kapolda NTB, Irjen Hadi Gunawan pun datang ke lokasi untuk mengecek Tempat Kejadian Perkara (TKP). Dilangsir TribunLombok.com, Kapolda menyatakan pihaknya masih melakukan penyelidikan terkait kasus ini, termasuk isu anggota polisi yang menyulut kemarahan warga. “Pemicu sebenarnya masih diselidiki,” ucap Irjen Hadi, Selasa 18 Maret 2025.
Kapolda menjelaskan bahwa penyerangan terjadi imbas dari adanya seorang ASN bernama Rizki Wantoni yang tewas akibat bunuh diri. ASN tersebut, bunuh diri lantaran adanya kesalahpahaman di salah satu toko. Kasus ini, berawal dari beredarnya CCTV seorang ASN yang diduga mengambil HP milik karyawan.
Ternyata ASN tersebut, salah ambil HP yang dititipkannya saat berbelanja. Setibanya di rumah, ASN tersebut menyadari bahwa itu bukan HP miliknya. Rizki Wantoni kemudian, berinisiatif untuk mengembalikan. Namun, pegawai toko sudah terlanjur melapor ke Polsek Kayangan.
Mediasi pun dilakukan di kantor Polsek Kayangan dan akhirnya sepakat damai. , video CCTV yang menarasikan korban menjadi pencuri sudah tersebar hingga membuat ia malu dan tertekan. Akhirnya, korban mengakhiri hidupnya sendiri.
Warga yang mengetahui hal tersebut, lalu emosi dan mendatangi Polsek Kayangan. “Diduga, warga tak terima RW dituduh mencuri HP. Karena RW dikenal baik di mata masyarakat,”kata Kapolda NTB.
Kapolres Bantah Pemerasan Oleh Anggotanya
Sementara itu, Kapolres Lombok Utara, AKBP Agus Purwanta, mengatakan perusakan Polsek Kayangan bukan dipicu dari adanya anggota polisi yang memeras RW untuk menutupi kasus. “Tidak ada, itu hanya isu, tidak ada polisi minta uang,” kata Purwanta ketika dihubungi wartawan Selasa dini hari 18 Maret 2025.
Kapolres juga membantah bahwa kemarahan warga disebabkan oleh kematian RW setelah diminta sejumlah uang. Menurut Kapolres kondisi Polsek Kayangan kini sudah kembali normal. “Ini Pak Kapolda NTB masih di TKP, semua sudah kondusif,” kata Purwanta.
Bahkan kata Kapolsek massa sempat akan mendatangi Alfamart tempat video korban RW viral. “Tadi memang massa akan ke Alfamart, tapi berhasil kita halau. Saya minta mereka kembali pulang,” katanya.
Keterangan Keluarga
Pihak kelurga korban bunuh diri di Dusun Batu Jompang, Desa Sesait, Kecamatan Kayangan mengungkapkan kronologis kejadian tersebut. Korban atas nama Rizkil Watoni diduga kuat mengakhiri hidupnya karena depresi terhadap tekanan dari pihak kepolisian. “Saya disuruh ngaku maling, baru selesai masalah,” kata ayah Korban, Nasrudin menirukan ucapan anaknya.
Nasrudin menjelaskan anaknya memang dipaksa mengaku melakukan pencurian sebuah handphone. Akan tetapi karena merasa tidak pernah mencuri, dia tidak mau mengakui. Anak kami dituduh kena pasal ini, kena pasal itu,” ujarnya.
Karena merasa tidak nyaman dengan tuduhan itu, korban memilih mengakhiri hidupnya. Korban beberapa kali menyampaikan kepada dirinya, bahwa lebih baik mati daripada harus mengaku melakukan pencurian. “Makanya anak saya dimatikan secara halus karena tertekan batin, psikologi, mental,” Katanya.
Bahkan, kata ayah korban, di tengah tekanan itu, korban juga diminta menyerahkan uang oleh oknum di Polsek Kayangan. Yaitu disuruh bayar Rp15 juta. “Dia sampai menelpon temannya yang di Bali untuk pinjam uang,” Jelasnya.
Kepala Desa Sesait Susianto mengaku baru mengetahui kronologis kejadian tersebut setelah korban meninggal dunia. Semestinya, pihak kepolisian berkoordinasi dengan pemerintah desa. ”Saya baru tahu setelah dapat cerita dari keluarga korban, padahal kasus ini sudah dua minggu lalu,” katanya.
Menurut Susianto, pemdes sudah memiliki lembaga yang bisa melakukan penanganan terhadap persoalan hukum. Apalagi kasus tersebut termasuk tindak pidana ringan. Karena itu, dia heran karena tidak ada koordinasi pihak polsek dengan pemdes.Ada lembaga lokal desa, ada lembaga adat sebagai wadah yang dibentuk pemerintah desa melalui instruksi bupati untuk dibentuk lembaga, untuk memediasi segala persoalan di desa,” katanya. (Red)