Tanggamus, sinarlamping.co – Keluhan masyarakat terhadap kualitas air PDAM Way Agung Tanggamus terus mencuat, terutama saat musim penghujan. Air yang didistribusikan sering kali keruh dan kotor, sementara pengelolaan air dianggap belum memenuhi standar yang memadai.
Direktur PDAM Way Agung Tanggamus, Jonson M.B Nahor, menjelaskan bahwa sistem distribusi air di PDAM ini menggunakan sistem gravitasi. Menurutnya, sejak awal berdiri, PDAM hanya mengandalkan sodetan di hulu tanpa infrastruktur pengolahan air yang memadai.
“PDAM di Tanggamus ini satu-satunya di Lampung yang pakai sistem gravitasi. Dulu survei awal menganggap air di hulu jernih dan layak konsumsi, jadi hanya dibuat sodetan dan bak penampungan. Tapi sekarang, bak penampungan itu tidak efektif lagi. Saat hujan, air limpasan dari gunung masuk ke bak karena hulu terbuka,” ujar Jonson.
Ia juga menegaskan bahwa hingga kini belum ada laporan dari konsumen terkait dampak kesehatan akibat mengonsumsi air tersebut, secara berkala PDAM melakukan uji laboratorium dengan hasil layak. Namun, PDAM mengakui perlunya peningkatan fasilitas agar layanan lebih baik.
Jonson menuturkan, pihaknya telah berulang kali mengusulkan pembangunan instalasi pengolahan air (Water Treatment Plant/WTP) kepada Pemerintah Daerah, namun belum terealisasi.
“Kami hanya operator yang bertugas mendistribusikan air. Berkali-kali kami mengajukan permohonan WTP lengkap, tapi mungkin keuangan daerah sedang defisit. Ke depan, saya akan temui PJ Bupati untuk mencari solusinya,” imbuhnya.
Terkait omset, Jonson menyebutkan penerimaan dari konsumen masih terbatas, yakni sekitar Rp 300 juta per tahun. Dana tersebut sebagian besar digunakan untuk biaya operasional dan gaji karyawan serta pemasangan water meter ke pelanggan agar penggunaan air dapat terukur.
Sistem distribusi air PDAM Way Agung juga menjadi sorotan warga. Pasalnya, distribusi untuk konsumen lokal dilakukan secara bergilir, sementara kebutuhan air untuk kapal sebesar 300-400 ton per bulan tetap terpenuhi.
“Kami tidak membedakan konsumen dengan kapal, tetapi karena keterbatasan air, konsumen menggunakan sistem bergilir. Kalau kapal, tidak setiap hari, hanya sebulan sekali,” jelas Jonson.
Distribusi air untuk kapal dilakukan melalui pihak ketiga, dengan harga jual Rp 23 ribu per ton yang langsung disetorkan ke kas PDAM. Namun, pihak ketiga menjual air tersebut ke kapal dengan harga hingga Rp 110 ribu per ton.
Warga mendesak agar pemerintah segera memberikan solusi atas masalah ini, terutama terkait peningkatan kualitas dan kuantitas air yang didistribusikan PDAM Way Agung Tanggamus. (Wisnu)