Bandar Lampung (SL)-Jalan Poros Rawajitu menuju Simpang Penawar, termasuk arah Mesuji, masih rusak parah. Jalan rusak itu menjadi pemandangan setiap hari sejak puluhan tahu lalu. Bagi warga Rawajitu, seperti hidup berdapingan dan berdamai dengan jalan rusak. Apalagi musim penghujan. Padahal, dalam UU No. 22 tahun 2009 masyarakat bisa menggugat penanggung jawabnya.
“Memang aspal paling rentan oleh air. Maka jika air hujan tidak bisa langsung mengalir ke saluran air di sisi jalan raya dan tergenang untuk beberapa lama, aspal jalan akan terkelupas dan berlubang. Tapi sepertinya, pembangunan dan perawatan jalan sarat korupsi,” kata Rojali, warga Rawajitu, di lokasi jalan rusak, saat dalam perjalanan menuju Tulang Bawang, Selasa 26 Mei 2020.
Jadi, kata Dia, kualitas aspalnya buruk dan kadang tidak ada saluran airnya. Sehingga sudah dapat dipastikan jalan-jalan di Lampung akan cepat hancur kala musim hujan datang. “Ya jadi istilah sekarang kami hidup berdampingi dengan jalan rusak, berdamailah, dan sudah bertahun tahun. Ganti gubernur, bupati, juga sama. Janji janji seribu janji, dan tinggal janji,” kata Rozali,
Menurut Rojali, ruas jalan melintasi Kabupaten Mesuji di Kecamatan Rawajitu Utara dan wilayah Tulang Bawang, termasuk Provinsi rusak parah hingga kini. “Lihat saja mas, sudah lambat. Sekarang tambah lambat, kalo ada kendaraan amblas, atau patas as. Biasa begini, jadi Rawajitu Tulang Bawang bisa empat jam. Pernah 8 Jam, jadi 12 jam baru sampe Bandar Lampung,” kata Rojali.
Selain berlumpur, jalan yang sebagian baru dihampar batu memiliki banyak lubang yang cukup dalam. Kodisi tersebut sangat menyulitkan masyarakat untuk melintas. Kondisi jalan terparah ada di ruas setelah Jembatan Ratu Timur. “Sangat sulit jika kami akan keluar dari Kecamatan Rawajitu Utara karena jalan tersebut merupakan akses utama, selain melalui jalur Tulangbawang yang sama parahnya,” ujarnya.
Padahal, kata dia, Kecamatan Rawajitu Utara yang genap berusia 19 tahun itu adalah salah satu lumbung padi terbesar di Mesuji dengan luas lahan sawah sekitar 10.498,77 hektare. “Kondisi jalan yang baik adalah kebutuhan penting bagi masyarakat untuk mengeluarkan hasil bumi mereka,” ujarnya.
Rojali bercerita, jika jalan berlubang atau rusak, idealnya segera dilakukan perbaikan oleh Pemerintah setempat. Sayangnya persoalan kewenangan memperbaiki jalan seperti terkotak-kotak. Dalam satu wilayah atau kota, tanggung jawab perawatan dan perbaikan jalan berbeda-beda. Ada yang harus dilakukan oleh Pemda setempat namun ada juga yang harus pemerintah Provinsi, Pemerintah Pusat, hingga Desa. “Bagi saya ini sangat membingungkan,” katanya.
Karena, katanya dari hasil kuliah dulu, bahwa warga bisa melakukan gugatan hukum kepada pemerintah daerah lantaran kerusakan jalan yang berdampak kecelakaan lalu lintas. Pasalnya, pemerintah daerah merupakan salah satu penyelenggara jalan yang memiliki tanggung jawab memperbaiki kerusakan.
Dalam pasal 57 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34/2006, wewenang penyelenggaraan jalan ada pada pemerintah dan pemerintah daerah. Turunan pasal tersebut pada ayat 3 juga menjelaskan cakupan wewenang penyelenggaraan jalan daerah yang meliputi jalan provinsi, jalan kabupaten/kota dan jalan desa.
Selain itu, dalam kewenangan dan tanggung jawab penyelenggara jalan telah diatur pada Pasal 24 ayat (1) UU No. 22 tahun 2009, yaitu : “Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas”. Sedangkan Pasal 24 ayat (2) menyatakan :
“Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat(1), penyelenggara jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas.”
Perintah Pasal 273 ayat (1) jelas, yaitu: “Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.
Selanjutnya ayat (2) menyatakan:”Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)”. Ayat (3) menyatakan : “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah)”.
Selain itu menurut ayat (4): “Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah)”.
Jadi jelas jika penyelenggara jalan, apakah Dinas PU Pemerintah Daerah setempat maupun Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian PU lalai menjalankan perintah Pasal 24 UU No. 22 tahun 2009, maka pengguna jalan dapat menuntut secara pidana sesuai dengan Pasal 273 ayat (1), (2), (3) dan (4) tersebut. “Kita belum ada yang bernai dalam menggunakan haknya sebagai pengguna jalan,” katanya.
Dua Wanita Protes Dengan Mandi di Jalan Berlumpur
Sebelumnya, dua perempuan warga Kampung Bumidipasena Jaya, Kecamatan Rawajitu Timur, Tulangbawang, berfoto di jalan berlumpur sebagai protes kepada pemerintah. Dua perempuan berhijab itu kesal lantaran jalan di kampungnya tidak kunjung diperbaiki.
Mereka tampak bergaya seperti model fotografer profesional yang tengah melakukan sesi pengambilan gambar di sebuah kolam renang, dengan santainya mereka bermain air bercampur lumpur yang menggenangi jalan poros Rawajitu.
Sherly Hermaweni salah satu perempuan yang berada di dalam foto tersebut, mengaku aksinya tersebut dilakukan karena terdorong dengan rasa prihatin kondisi jalan di kampungnya yang tidak kunjung di perbaiki pemerintah. “Itu keluh kesah kami disini. Setiap hujan jalan seperti itu. Sedangkan itu jalan setiap hari dilewatin orang untuk pergi ke sekolah, ke pasar, dan ke puskesmas selalu lewat jalan itu,” kata Sherly, dilangsir lampost.co, Kamis, 27 Februari 2020 lalu.
Vickyko Romana P, pria yang mengambil foto aksi kedua perempuan berhijab tengah bermain air berlumpur di tengah jalan itu mengaku, aksi tersebut sebagai sebuah bentuk protes terhadap pemerintah. Foto tersebut, diambil pada Rabu 26 Februari 2020 sekitar pukuk 16.00 WIB, seusai wilayah kampung setempat diguyur hujan.
“Idenya ya datang gitu aja. Kami pemuda dari Kampung Bumidipasena Jaya mau bersuara dengan karya yang santun. Tanpa menjelekkan pemerintah, hanya sedikit menyindir dan tidak menyudutkan pihak tertentu. Intinya mencari perhatian, bahwa kami di pelosok harus melewati jalan yang jelek ini setiap harinya,” kata dia.
Vickyko yang juga menjabat sebagai Ketua Karang Taruna Prana Jaya, Bumidipasena Jaya menyatakan, jalan tersebut merupakan akses utama warga sekitar. “Itu jalan yang sehari kami lewatin untuk keluar masuk ke kampung. Memang ada jalan lain tapi lewat kebun dan juga bukan jalan umum itu jalan perusahaan,” ujarnya.
Saat ini kata dia, kondisi jalan sangat memprihatinkan, karena berlubang dan berlumpur ketika musim penghujan tiba. “Kondisi jalannya berlubang, kalau pas hujan kan tergenang air berlumpur dan tanah liat kan jadi licin, pengendara yang lewat rawan tergelincir. Beberapa titik juga ada yang berupa tanah liat yang amblas jika dilewati kendaraan berat. Kalau musim panas, bebatuan mencuat dan jalanan berdebu,” katanya. (jun/red)