Lampung Utara (SL) – Kelangkaan elpiji 3 kilogram telah berdampak naiknya harga eceran Si Melon di Kecamatan Sungkai Utara , Lampung Utara. Para pedagang eceran terpaksa mengatrol harga lebih tinggi Rp23 ribu hingga Rp28 ribu per tabung.
Dari penelusuran Sinarlampung.com, melambungnya harga eceran disebabkan penetapan harga yang ugal-ugalan di tingkat agen tabung elpiji. Pasokan yang terbatas mendorong para agen mengambil untung lebih tinggi dalam kisaran yang berbeda. Para agen di kecamatan ini melepas elpiji 3 kg seharga Rp20 ribu hingga Rp22 ribu. Tak satupun agen yang menjual Si Melon sesuai Harga Eceran Tertinggi, Rp18 ribu/tabung.
Seperti disampaikan Rosidin, (75), pengecer elpiji, warga Desa Padangratu. Ia mengaku sulit mendapatkan elpiji sejak kemarin dan baru dapat hari ini seharga RpRp 19.000/tabung.
“Saya jual kembali Rp.23.000. Gimana lagi, harga beli saya juga naik,” katanya kepada awak media ini, Sabtu, (25/1/2020).
Dirinya mengaku tak ambil pusing dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan Pemerintah Provinsi Lampung melalui rapat bersama PT Pertamina dan Hiswana Migas, beberapa waktu lalu, senilai Rp 18 ribu.
“Wah, kalau itu saya tidak tahu. Kami cuma dagang, ngikut harga pasar,” kata Rosidin.
Sorang warga, Aan, mengatakui, terpaksa membeli elpiji dengan harga tinggi Rp 28 ribu per tabung karena butuh. Ia mengaku mau tidak mau membeli elpiji di warung warga, meski dengan harga tinggi. Namun ia meminta pemerintah dan pihak terkait segera menertibkan harga elpiji hingga pada tingkat harga yang wajar.
HET) LPG Rp18.000, Tak Banyak yang Tahu
Dari pantauan di lapangan, sejumlah agen yang ada di Kabupaten Lampung Utara justru menjual gas LPG dengan harga Rp 20.000 hingga Rp 22.000, padahal HET cuma Rp 18 ribu. Dan soal ini, tak mungkin para agen tidak tahu!
Diduga, kenaikan harga di tingkat agen yang ugal-ugalan dipicu buruknya manajemen distribusi yang menyebabkan pengiriman elpiji telat tiba hingga menimbulkan kelangkaan berhari-hari. Kelangkaan mendorong naiknya harga, yang diperparah oleh prilaku rakus para agen yang menaikan harga jual seenaknya.
Langka dan mahalnya elpiji 3 kg juga terjadi di Kecamatan Abung Barat dan di sekitarnya. Melda, pedagang sembako sekaligus penjual gas LPG di Abung Barat juga tak berdaya, harus menaikan harga jualnya hingg Rp 25 ribu per tabung dikarnakan dirinya mengambil ke agen sebesar 20.000.
“Saya beli Rp 20 ribu, lalu saya jual Rp 25.000,” ujarnya.
Dia mengaku tak tau harga jual elpiji diatur pemerintah (HET). “Mana saya tahu, karena memang tidak pernah kami diberi tahu,” tegasnya.
Seharusnya, tambah Melda, soal HET itu disosialisasikan agar semua orang tahu aturannya. “Bolak balik beli di agen, tak pernah ada spanduk atau selebaran kalau harga di tingkat agen cuma Rp 18 ribu per tabung. Jadi yang salah siapa,? ujar Melda bingung.
Hal yang sama juga dikatakan Udin, pedagang eceran elpiji di Abung Barat. Dia mengaku, rata-rata pedagang di kecamatan itu menjual elpiji Rp25 ribu per tabung, bahkan ada yang mencapai Rp 28.000/tabung.
“Saya aja jual Rp28.000 per tabung. Bisa apa saya, naiknya sudah dari sana. Saya beli aja sudah Rp22.000, tambah ongkos sudah berapa,” ujar Adin.
Soal HET, ia juga mengaku buta. “HET apa, tak tahu saya. Yang saya tahu, kadang naik, kadang turun,” ujar Adin, Sabtu (25/01/20).
Agen/Pangkalan Nakal
Jika sudah begini, yang ditenggarai bersalah tentulah para agen. Sebab, dari pantauan di lapangan banyak warung yang menjual harga terlalu tinggi, didorong oleh naiknya harga elpiji di pangkalan. Disimpulkan, pangkalan telah menjual gas melon di atas harga eceran tertinggi (HET) Rp 18.000.
Namun, hingga saat ini belum ada upaya pemerintah daerah melakukan penertiban. “Kami berharap Pemda dapat segera melakukan pengawasan dan penerbitan terkait harga elpiji yang sudah melampaui harga HETnya,” harap seorang warga. (smsi/ardi)