Kini setiap hujan, warga Kota Bandar Lampung, selalu waspada dan was was, terutama daerah Pesisir, bantaran anak sungai, hingga pemukiman padat dan perumahan. Karena belajar dari pengalaman musim hujan Januari-April 2025. Tidak hanya harta benda, bahkan merengut nyawa, terbaru tiga warga tewas saat banjir bandang di wilayah Kecamatan Panjang.
Sejak banjir 19 Januari 2025 menerjang wilayah Kota Bandar Lampung, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lampung mencatat sebanyak 11.223 jiwa terdampak. Banjir terjadi Jumat 17-19 Januari 2025 melanda 16 kecamatan dari total 20 kecamatan dan 79 kelurahan dari total 124 kelurahan.
Kota Bandar Lampung yang notabene dataran tinggi perbukitan terdapat kecamatan yang wilayah pesisir, yaitu Panjang, Bumi Waras, Teluk Betung Selatan, dan Teluk Betung Barat. Tapi faktanya wilayah Kedaton, Tanjung Seneng, Rajabasa, Sukarame, Sukabumi, Tanjungkarang Pusat, Tanjungkarang Barat, dan Kemiling, Way Halim justru jadi genangan air hingga badan jalan.
Selain persoalan resapan air, drainase buruk, sampah penumpuk, bangunan melanggar DAS, warga melihat pemberian izin teradap berbagai pembangunan yang ugal-ugalan juga menjadi pemicu kerusakan lingkungan di Kota Bandar Lampung. Bukit habis dikeruk, pembangunan perumahan, dan objek wisata. Zona resapan air yang guntul, pokoknya terasa mual jika di kumpulkan salahnya.
So, kita lihat data, Kota Bandar Lampung, adalah ibukota Provinsi Lampung, memiliki profil yang beragam di tahun 2024. Kota ini memiliki 20 kecamatan dan 126 kelurahan dengan jumlah penduduk sekitar 1.073.451 jiwa. Secara umum, Kota Bandar Lampung memiliki gambaran tentang geografi, sosial ekonomi penduduk, serta kondisi sosial dan perekonomian daerah.
Dengan kepadatan 5.400/km², Kota Bandar Lampung merupakan salah satu kota terpadat di Pulau Sumatra. Secara geografis, kota ini merupakan gerbang utama Pulau Sumatra, tepatnya kurang lebih 165 km sebelah barat laut Jakarta, memiliki andil penting dalam jalur transportasi darat dan aktivitas pendistribusian logistik dari Pulau Jawa menuju Pulau Sumatra maupun sebaliknya. Kalo padat maka limbah manusia dan sampah harus ditertibkan.
Kota Bandar Lampung juga dialiri Anak sungai di Kota Bandar Lampung, yang umumnya adalah bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) yang melintasi pemukiman warga. Beberapa contoh anak sungai yang ada di Bandar Lampung adalah Sub DAS Way Awi, Way Lunik, dan Way Belau. DAS itu dulu jernih, dan sekarang berbau. Dan hanya dihuni ikan cenang dan biawak
Sub DAS Way Awi, Anak sungai ini memiliki aliran yang melintasi pemukiman warga dan dianggap menjadi salah satu penyebab banjir di beberapa wilayah Bandar Lampung. Ada DAS Way Lunik berada di Kecamatan Panjang, DAS ini memiliki luas sekitar 875 hektar. Lalu DAS Way Belau yang ada di Kecamatan Telukbetung, DAS ini berfungsi sebagai bioindikator kualitas air sungai, khususnya makrobentos (organisme yang hidup di dasar perairan dan memiliki ukuran tubuh relatif besar (lebih dari 1 mm). Mereka sering digunakan sebagai indikator kualitas perairan karena pergerakan mereka yang terbatas dan sensitivitas mereka terhadap perubahan kualitas air). .
Ada DAS Way Bulok salah satu anak sungai dari Way Sekampung, DAS ini mengalami fluktuasi debit air yang signifikan. Selain anak sungai-anak sungai tersebut, Kota Bandar Lampung juga dilalui oleh 23 sungai kecil yang bermuara di Teluk Lampung, dan dua sungai besar yaitu Way Kuripan dan Way Kuala.
Kota Bandar Lampung juga memiliki 33 bukit (tahun 2008), dan kini sebagian besar sudah mengalami kerusakan akibat penggerusan. Tersisa 11 bukit, artinya dalam waktu selama ini ada 22 bukit di Bandar Lampung habis oleh pembangunan dan penambangan. Beberapa bukit yang teridentifikasi antara lain Gunung Kunyit, Gunung Mastur, Gunung Bakung, dan Gunung Sulah, Gunung Kucing, Bukit Randu, Bukit Camang, Bukit Suka Menanti, Bukit Cermai, dan bukit-bukit diwilayah Sukarame, Way Dadi.
Dan ada 11 bukit yang telah ditetapkan berdasarkan Perda Nomor 1/1996. Bukit tersebut adalah Bukit Sulah Sukarame, Bukit Kunyit Telukbetung Selatan, Bukit Sari Tanjungkarang Pusat, Bukit Kucing Tanjungkarang Barat, Bukit Banten Kedaton, Bukit Perahu Kedaton, Bukit Sukamenanti Kedaton, Bukit Klutum Tanjungkarang Timur, Bukit Randu Tanjungkarang Timur, Bukit Kapuk Tanjungkarang Timur, dan Bukit Camang Tanjungkarang Timur.
Bukit dan DAS tentunya menjadi satu kesatuan. Ketika hujan datang diserap oleh bukit, lalu mengalir ke DAS. Persoalannya daerah resapan kota Bandar Lampung hanya tersisa tidak sampai lima persen. Melihat kondisi Tanjung Karang yang berada di ketinggian, seharusnya tidak akan terjadi banjir. Teluk Betung, Panjang, adalah daerah yang dengan kondisi rendah maka dipastikan menjadi tumpukan air.
Jika kita telusuri Daerah Aliran Sungai dan Anak Sungai mulai dari hulu ke hilir termasuk mulai diperbatasan dengan Kabupaten Pesawaran, dan Lampung Selatan, maka akan terlihat dimana saja yang terjadi penyumpabatan, baik akibat penyempitan karena bangunan dan sumbatan sampah. Belum lagi rawa-rawa yang dulu menjadi penyangga air kini sudah tidak ada lagi.
Di Rajabasa misalnya, dulu di Depan Kantor Kehutanan itu adalah rawa-rawa cukup dalam dan jadi daerah resapan. Kemudian depan Cucian Mobil Rajabasa, samping SD hingga Jalan Nunyai itu rawa-rawa, dan jadi tempat resapan air. Setelah jadi bangunan, maka air kemudian meluap ke jalan dan ke pemukiman. Sepanjang Jalan By Pass Soekarno Hatta, kanan dan kiri jalan masih terdapat drainase juga dilalui anak sungai yang masih longgar kini hampir tak terlihat.
Bahkan jika mengintif isi trotoar-trotoar di Kota Bandar Lampung itu tidak lagi jadi drainase karena berisi sampah dan material batu dan tanah. Buktinya air justru menggenang ke jalan utama yang memang kontruksi jalannya tidak sesuai dengan kontruksi jalan aspal yang ideal.
Melihat Bukit Kunyit yang kini tinggal seperempat, Bukit Sukamenanti di Kecamatan Kedaton yang dulu tingginya bukit mencapai 800 meter ini mengalami kerusakan hingga 50 persen. Ditambang dan dibangun perumahan. Bukit Randu kini habis jadi hotel. Bukit Camang jadi perumahan dan tambang batu, dan lihat Bukit Bukit di Campang, juga mulai gundul, termasuk daerah Kemiling dan sekitarnya.
Soal DAS yang alirannya melintasi pemukiman warga di Kota Bandar Lampung, menjadi salah satu penyebab banjir apalagi tanggul jebol. Peneliti menyebut limpasan banjir bergantung pada intensitas curah hujan, semakin besar curah hujan yang terjadi, maka semakin besar pula debit yang mengalir pada suatu penampang melintang sungai.
Lalu bagaimana mengatasi? mengapa sudah masuk priode ke dua Walikota Bandar Lampung Eva Dwiana belum terlihat aksi nyata mengatasi banjir? Sepertinya tidak cukup hanya mengirim sembako, melakukan bersih-bersih sampah dan lumpur, dan doa prihatin atas korban-korban banjir.
Kota Bandar Lampung saat ini butuh pengembalian fungsi sungai dan selokan agar dapat bekerja dengan baik. Sungai dan selokan adalah tempat aliran air sehingga jangan sampai tercemari dengan sampah atau menjadi tempat pembuangan sampah yang akhirnya menyebabkan sungai dan selokan menjadi tersumbat.
Melakukan reboisasi tanaman khususnya jenis tanaman dan pepohonan yang dapat menyerap air dengan cepat di Bandar Lampung. Jika lahan tidak ada maka bisa penghijauan di sepanjang jalan dan anak sungai, bukit, atau mewajikan setiap rumah menanam pohon.
Memperbanyak dan menyediakan lahan terbuka untuk membuat lahan hijau untuk penyerapan air. Kebijakan ini bisa dengan mengajak masyarakat untuk membangun rumah dengan memperhatikan zona hijau. Dan menghentikan membangun perumahan di tepi sungai, karena akan mempersempit sungai dan sampah rumah juga akan masuk sungai. Dan menghindari penebangan pohon-pohon di hutan secara liar dan juga di bantaran sungai, karena pohon berperan penting untuk pencegahan banjir.
Melihat Kondisi saat ini, mungkin cocok untuk Bandar Lampung membuat sumur resapan air bila memungkinkan. Membangun sistem peringatan dini banjir. Melakukan pembersihan saluran air secara berkala. Memindahkan tempat hunian ke daerah bebas banjir dan tidak membangun hunian di bantaran anak sungai. Rutin membersihkan saluran air dan drainase untuk memastikan kelancaran aliran air.
Atau menggunakan sistem drainase modern yaitu menggunakan sistem drainase yang canggih untuk mengontrol debit air hujan dan mencegah penumpukan air. Kemudian menggunakan teknologi penampungan dan resapan air bawah tanah yaitu menggunakan teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas jaringan drainase dan mempercepat penyerapan air ke dalam tanah.
Pengelolaan Lahan dan Lingkungan dengan Reboisasi, menanam pohon, terutama yang dapat menyerap air dengan cepat, untuk meningkatkan penyerapan air. Perbanyak lahan terbuka hijau untuk membantu penyerapan air. Memperbanyak sumur resapan dan lubang biopori untuk meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah, dan mengubah halaman dengan paving blok yang dapat meresap air untuk mengurangi genangan di jalan.
Terpenting juga adalah perubahan perilaku masyarakat dengan tidak buang sampah sembarangan, menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak membuang sampah ke sungai atau selokan. Menghindari pembangunan rumah atau bangunan di pinggir sungai yang rentan banjir. Dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan dan mencegah banjir. ****