Bandar Lampung, sinarlampung.co – Pemerintah Provinsi Lampung menggelontorkan anggaran cukup besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Lampung. Total anggaran yang dialokasikan mencapai Rp11,7 miliar, namun realisasinya kini diduga sarat dengan indikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Anggaran fantastis tersebut mencakup berbagai proyek, antara lain:
1. Pemasangan Baliho Informasi Penanggulangan Bencana (termasuk sewa tiang baliho, banner, spanduk, dan backdrop) sebanyak 15 unit senilai Rp1.220.300.000.
2. Pengadaan Alat Sistem Peringatan Dini Bencana (Early Warning System) sebanyak 74 unit sebesar Rp5.827.500.000.
3. Penyediaan Fasilitas Air Bersih di Lampung Tengah dan Pringsewu sebesar Rp220.000.000.
4. Proyek Pencegahan Bencana Sungai Way Belebuk di Totoharjo, Kecamatan Bakauheni, Kabupaten Lampung Selatan (242,6 meter) senilai Rp3.507.268.200.
5. Pencegahan Bencana Sungai Way Buatan di Kelapa Tiga, Lampung Selatan sebesar Rp1.019.048.000.
Berdasarkan hasil investigasi media ini dan data yang diperoleh dari narasumber, sejumlah proyek yang dibiayai APBD tersebut diduga tidak memenuhi spesifikasi teknis yang ditetapkan dalam kontrak. Selain itu, kualitas hasil pekerjaan pun dinilai buruk.
Dugaan menguat bahwa pihak ketiga diminta menyetor “fee proyek” kepada oknum di BPBD Lampung, dengan nominal antara 15% hingga 20% dari nilai pekerjaan. Setoran ini ditengarai mempengaruhi mutu proyek yang dilaksanakan.
Menurut keterangan narasumber yang tidak bersedia disebutkan identitasnya, ada indikasi bahwa pengelolaan anggaran di BPBD Lampung dilakukan secara tidak transparan dan sarat manipulasi.
“Fantastisnya anggaran BPBD Lampung hingga Rp11,7 miliar sangat mencurigakan. Ini terkesan tidak masuk akal dan mengarah pada dugaan mark-up serta manipulasi data yang bisa menjadi pintu masuk terjadinya KKN,” ujarnya.
Salah satu proyek yang menjadi sorotan adalah pengadaan baliho informasi penanggulangan bencana yang menyedot anggaran lebih dari Rp1,2 miliar. Narasumber menilai kegiatan ini sebagai bentuk pemborosan dan tidak efisien dalam penggunaan anggaran.
“Diduga terjadi mark-up dalam pembelian material dan pelaksanaan teknis, bahkan pengurangan volume pekerjaan pun tampak jelas,” tambahnya.
Seharusnya, permasalahan seperti ini bisa dicegah apabila proses pengawasan oleh konsultan maupun internal BPBD berjalan sebagaimana mestinya. Namun kenyataannya, proyek-proyek tersebut tetap lolos dari pengawasan. Hal ini memunculkan dugaan bahwa berbagai pihak seperti PPK, PPTK, konsultan pengawas, hingga kontraktor, telah berkolusi dan membiarkan pelanggaran terjadi.
Dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga mencuat, di mana terlihat tidak adanya koordinasi yang jelas antara kontraktor dan pengawas proyek.
Apabila dugaan ini terbukti, maka dapat dikenakan sanksi hukum baik secara administratif, pidana, maupun perdata. Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindakan korupsi atau penggelapan anggaran dapat dihukum penjara dan denda yang besar.
“Ketidakpatuhan terhadap regulasi ini sangat merugikan masyarakat, terutama dalam hal pemanfaatan fasilitas yang dibangun. Kami mendesak pihak berwenang segera melakukan audit dan investigasi menyeluruh agar persoalan ini dapat ditangani secara transparan,” tegasnya.
Adanya indikasi penyimpangan ini turut menggerus kepercayaan publik terhadap pengelolaan anggaran pemerintah. Pemerintah Provinsi Lampung diharapkan segera turun tangan untuk memastikan proyek ini dijalankan sesuai ketentuan hukum dan tidak merugikan masyarakat.
Ke depan, semua pihak yang terlibat dalam proyek-proyek dengan dana publik harus lebih memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku, serta menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahap pelaksanaan.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak BPBD Lampung belum memberikan tanggapan resmi terkait dugaan penyimpangan ini. (Red/*)