Bandung, sinarlampung.co-Seorang dokter residen anestesi dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), Priguna Anugerah Pratama (31), ditahan oleh pihak kepolisian Polda Jawa Barat atas dugaan pemerkosaan terhadap FH (21 tahun), keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Perkosaan dilakukan ruang nomor 711 Gedung MCHC RSHS Bandung pada 18 Maret 2025, dengan modus tranfusi darah.
Menurut keterangan korban, pelaku meminta dirinya untuk menjalani transfusi darah tanpa didampingi keluarga di ruang nomor 711, sekitar pukul 01.00 WIB. Korban diminta untuk berganti pakaian dengan baju operasi dan melepas seluruh pakaiannya. Setelah itu, pelaku menyuntikkan cairan melalui infus, yang menyebabkan korban merasa pusing dan kehilangan kesadaran.
Korban baru sadar sekitar pukul 04.00 WIB. Setelah sadar, korban diminta untuk berganti pakaian dan diantar ke lantai bawah. Saat buang air kecil, korban merasakan perih di bagian tubuhnya. Korban kemudian melaporkan kejadian tersebut ke Polda Jawa Barat.
Kasus rudapaksa ini dilaporkan ke Polda Jabar tanggal 8 Maret 18 Maret 2025 dengan nomor laporan polisi LPB/124/III/2025/ SPKT Polda Jabar. Sedangkan lokasi kejadian berada di Gedung Mother and Child Health Care (MCHC) Rumah Sakit Dokter Hasan Sadikin, Bandung.
Kronologi Kejadian
Hari itu, Senin 17 Maret 2025 koban menjaga kerabatnya yang masuk Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Sejak beberapa hari terakhir, kondisi kerabatnya itu memang terus menurun. Puncaknya, kesehatan pasien itu memburuk pada Senin malam itu.
Dokter Priguna Anugrah Pratama, mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Jurusan Anestesi yang saat itu berjaga di ruang IGD menjelaskan kepada korban bahwa kondisi pasien tengah kritis. Oleh karena itu, dibutuhkan segera donor darah untuk menyelamatkan nyawa pasien.
Korban spontan menyatakan bersedia menjadi donor. Priguna yang diduga sudah merencakan itu lantas mengajak korban menjalani crossmatch. Proses ini dilakukan untuk menemukan kecocokan jenis golongan darah yang akan ditransfusikan kepada penerima. Proses itu, kata Priguna, bakal dilakukan di Ruang 711 di lantai 7 Gedung MCHC.
Gedung MCHC sejatinya bukan crossmatch. Ruangan itu berfungsi untuk pelayanan kesehatan ibu dan anak. Saat itu, sudah pukul 01.00 WIB. Sesampainya di ruangan itu, Priguna lalu meminta korban mengganti pakaian. Korban hanya boleh menggunakan pakaian operasi saja.
Tanpa tahu proses crossmatch, lengan korban dipasang infus. Priguna lalu menyuntikkan cairan obat melalui selang infus. Belakangan, obat itu adalah Midazolam. Dalam sekejap, korban hilang kesadaran. Bahkan korban terlelap selama tiga jam.
Saat itulah Priguna melakukan aksi bejatnya. Dia memerkosa korban. Ulah itu diduga kuat sudah ia rencanakan sebelumnya. Bahkan pelaku menggunakan kondom, yang telah disimpan di celananya, saat memerkosa.
Sekitar pukul 04.00 WIB, korban akhirnya sadar. Korban tersadar dengan merasakan pusing di kepala. Tangan dan kemaluannya juga sakit. Dan Nampak seperti tak terjadi apa apa Priguna mengantarkan korban kembali ke tempat pasien dirawat.
Periksa 11 Saksi
Setelah melakukan pemeriksaan terhadap 11 orang saksi, termasuk korban, ibu dan adik korban, beberapa perawat, dokter, serta pegawai rumah sakit lainnya, pihak kepolisian menetapkan Priguna Anugrah sebagai tersangka dan melakukan penahanan.
Polda Jawa Barat menjerat pelaku dengan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jawa Barat, Kombes Surawan, mengungkapkan bahwa Priguna Anugerah Pratama, diduga memiliki kelainan seksual. Hal itulah yang disinyalir membuat Priguna nekat melakukan pemerkosaan.
Temuan ini berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan polisi selama beberapa hari terakhir. “Dari hasil pemeriksaan, memang ada kecenderungan pelaku mengalami sedikit kelainan dari segi seksual,” ujar Surawan.
Untuk itu, Polda Jawa Barat kini tengah berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk mendalami indikasi kelainan tersebut. Termasuk di antaranya dengan melibatkan para ahli dan psikolog. “Kami akan memperkuat temuan ini melalui pemeriksaan psikologi forensik, serta pendapat para ahli dan psikolog. Hal ini penting untuk menegaskan adanya kecenderungan kelainan perilaku seksual,” tegasnya.
Sosok dokter Priguna
Priguna Anugerah Pratama yang menjadi tersangka pemerkosaan terhadap putri pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, adalah dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran (Unpad).
Priguna tercatat sebagai mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Jurusan Anestesi. Lelaki asal Pontianak, Kalimantan Barat, itu tengah menempuh PPDS di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Saat kejadian, ia sedang menjalani masa pendidikan profesinya di RSHS Bandung.
Priguna lahir pada 14 Juli 1994 dan kini berusia 31 tahun. Ia bukan warga asli Bandung, melainkan berasal dari Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Selain itu, Priguna juga diketahui telah menikah dan memiliki seorang istri.
Harus Ditambah UU Kesehatan
Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Halimah Humayrah Tuanaya, menilai bahwa polisi kurang tepat jika hanya menggunakan Pasal 6 huruf c UU TPKS untuk menjerat Priguna. Halimah berpendapat, polisi seharusnya juga menerapkan Pasal 15 ayat 1 huruf b karena pelaku merupakan tenaga kesehatan, dan Pasal 15 ayat 1 huruf j karena korban dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
“Seharusnya polisi juga menerapkan Pasal 15 ayat 1 huruf b karena pelaku merupakan tenaga kesehatan, dan Pasal 15 ayat 1 huruf j karena korban dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya,” ujar Halimah.
Jika Pasal 15 ayat 1 huruf b dan Pasal 15 ayat 1 huruf j diterapkan, maka pidana penjara bagi pelaku bisa lebih berat. Pasal 15 mengatur tentang pemberatan pidana. Oleh karena itu, Halimah menyarankan agar penyidik tidak hanya menerapkan Pasal 6 huruf c, tetapi juga Pasal 15 ayat 1 huruf b dan Pasal 15 ayat 1 huruf j.
Dengan demikian, ancaman pidana penjara maksimal bagi pelaku dapat mencapai 12 tahun, ditambah pemberatan sepertiga, sehingga totalnya menjadi 16 tahun. “Pasal 15 itu mengatur tentang pemberatan pidana. Oleh karena itu, penyidik sebaiknya tidak hanya menerapkan Pasal 6 huruf c, tetapi juga Pasal 15 ayat 1 huruf b dan Pasal 15 ayat 1 huruf j. Dengan demikian, ancaman pidana penjara maksimal bagi pelaku dapat mencapai 12 tahun, ditambah pemberatan sepertiga, sehingga totalnya menjadi 16 tahun,” kata Halimah.
Halimah yang juga Pengurus Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah itu mengingatkan agar polisi memperhatikan hak-hak korban yang telah diatur dalam UU TPKS, jadi polisi harus memperhatikan betul hak-hak korban seperti hak penguatan psikologis, hak atas pelayanan kesehatan, hak atas resitusi dari pelaku, dan hak-hak lainnya.
“Untuk pemenuhan hak-hak korban, polisi bisa berkordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jawa Barat. Sedangkan untuk hak resitusi, polisi bisa berkordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban” ujar Halimah. (Red)