Jakarta, sinarlampung.co – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bersama perwakilan dari berbagai daerah mendatangi Kejaksaan Agung untuk melaporkan 47 korporasi yang diduga terlibat dalam perusakan lingkungan dan korupsi sumber daya alam (SDA). Laporan ini mencakup perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan sawit skala besar, pertambangan (batu bara, emas, timah, dan nikel), kehutanan, pembangkit listrik, penyediaan air bersih, serta pariwisata. WALHI memperkirakan potensi kerugian negara akibat dugaan korupsi SDA oleh korporasi-korporasi ini mencapai Rp437 triliun.
WALHI mengungkapkan bahwa beberapa modus operandi dugaan korupsi melibatkan perubahan status kawasan hutan melalui revisi tata ruang atau melalui Pasal 110A dan 110B dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Selain itu, terdapat indikasi gratifikasi dalam bentuk pembiaran aktivitas ilegal tanpa izin serta pemberian izin yang tidak sesuai dengan tata ruang. WALHI juga menyoroti praktik State Capture Corruption, yakni pembentukan produk hukum yang mengakomodasi kepentingan eksploitasi SDA serta memberikan pengampunan terhadap pelanggaran.
“Kita tidak bisa hanya melaporkan kasus per kasus, tapi juga harus mencari modus operandi dari kartel-kartel yang mengkonsolidasikan praktik korupsi tersebut. Sejak 2009, kami melihat proses menjual tanah air ini terus berlangsung dan mengancam 26 juta hektare hutan Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi.
Korupsi di sektor SDA tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga berdampak pada hilangnya mata pencaharian masyarakat, meningkatnya konflik sosial, serta rusaknya lingkungan hidup. WALHI menegaskan bahwa hanya sedikit kasus yang diproses meski laporan telah disampaikan kepada pihak berwenang.
“Kejaksaan Agung memiliki peran kunci dalam memastikan bahwa penegakan hukum atas kejahatan lingkungan dan korupsi SDA berjalan efektif tanpa ada impunitas bagi para pelaku. Oleh karena itu, kami datang untuk melakukan audiensi dan pelaporan langsung ke Kejaksaan Agung,” tambah Zenzi.
Raden Rafiq, Direktur WALHI Kalimantan Selatan, mengungkapkan bahwa pihaknya melaporkan empat korporasi di sektor sawit dan tambang yang diduga kuat terlibat dalam korupsi SDA. “Empat perusahaan ini hanya sebagian kecil dari banyak perusahaan yang telah melakukan pelanggaran serius terhadap lingkungan dan hak masyarakat adat serta petani lokal,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur WALHI Maluku Utara, Faisal Ratuela, menyoroti dampak masif pertambangan nikel yang menghancurkan wilayah tangkap nelayan serta mengakibatkan pencemaran lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati. “Penegakan hukum terkait korupsi harus segera dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Bukti permulaan yang kami laporkan sudah cukup kuat, ditambah dengan kasus korupsi perizinan tambang sebelumnya yang telah diungkap KPK. Maluku Utara saat ini menempati posisi provinsi terkorup di Indonesia,” tegas Faisal.
Selain melaporkan korporasi dan pihak pemerintah yang terindikasi terlibat dalam korupsi SDA, WALHI juga menyampaikan kritik terhadap Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025. WALHI menegaskan bahwa Satgas ini harus menindak perusahaan skala besar yang telah menikmati keuntungan dari eksploitasi SDA secara ilegal, bukan malah menargetkan masyarakat kecil yang selama ini menjadi korban dari klaim sepihak negara atas kawasan hutan.
“Sejak awal, kami mengkritik dominasi militer dalam Satgas ini serta peran dan kerja mereka yang diatur dalam Perpres. Kekhawatiran kami adalah rakyat kecil yang justru menjadi korban penggusuran atas nama penertiban kawasan hutan. WALHI akan terus mengawasi kerja-kerja Satgas ini ke depan,” kata Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.
WALHI berharap Kejaksaan Agung segera memproses laporan yang telah disampaikan dan membuka peluang kerja sama dalam menindaklanjuti kasus-kasus korupsi SDA, baik di tingkat nasional maupun daerah. (*)