Ramai jagad media sosial dan obrolan sambil ngopi di setiap sudutan tentang Pilkada, fenomena kotak kosong, dan partai yang tidak merekomendasikan kadernya serta bla bla bla.
Dalam perspektif pribadi saya, yang terjadi saat ini adalah “biasa” dalam konteks proses dan komunikasi politik. Suka tidak suka, populer atau tidak hanya bagian dari variabel harmoni politik praktis. Pada akhirnya, siapa yang siap secara finansial, baik dalam melakukan proses dan komunikasi politik, pengelolaan jaringan yang baik, dan berani mengeksekusi keputusan maka dialah yang akan “berlayar”. Kemudian muncul narasi “tapikan”, dalam politik tidak mengenal kosa kata itu, kembali lagi, siapa yang siap lahir dan batin, tidak ragu maka dialah yang maju. Ingat saudara, biaya politik itu Mahal !!!
Kalau begitu kita pilih kotak kosong. Silahkan karena itu hak konstitusional setiap warga, dengan konsekuensi suatu daerah tidak memiliki kestabilan dalam pemerintahannya selama lebih kurang tahun (pilkada selanjutnya).
Seharusnya yang dikritisi pegiat muda, akademisi, dan orang-orang “ngerti” bahwa undang undang kita memberikan celah untuk proses ini, dan setiap produk hukum yg dihasilkan, pasti melalui proses dan mekanisme politik. Hal paling beraninya adalah melakukan judisial review UU pemilu, pilkada dan partai. Siapa yang berani?
Lampung gak pernah kekurangan orang-orang yang berani rusuh, tapi Lampung kesulitan memunculkan orang-orang yang berpikir konstruktif dan ikhlas.
Pilkada/pemilu adalah pesta demokrasi, yang penting setelah pesta kita kawal kebijakan, dan proses pembangunan, bersiap dan belajar untuk regenerasi kepemimpinan di masa depan.
Pada akhirnya, Demimu Lampungku, Untukmu Indonesiaku !!!