HARUS diakui, untuk mendorong terbangunnya budaya disiplin bagi perokok aktif agar tidak merokok di lokasi terlarang masih sangat sulit. Di Lampung misalnya, kebanyakan ‘ahli hisab’ atau perokok aktif tak menganggap regulasi terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR) itu ada. Kebanyakan orang tidak mengetahui, bahwa daerah ini punya Peraturan Daerah No 8 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Perda tersebut diundangkan pada 31 Juli 2017 semasa Gubernur Lampung M Ridho Ficardo. Tak begitu jelas, apakah Perda KTR tersebut masih berlaku hari ini, atau jangan-jangan pemerintah enggan untuk menenggakkan peraturan yang dibuatnya sendiri. Maka, tidaklah mengherankan bila persentase penduduk di Lampung yang merokok tembakau mengalami kenaikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung, persentase penduduk merokok tembakau berumur 5 tahun ke atas di provinsi ini pada 2023 mencapai 28,01 persen.
Sebanyak 26,49 persen diantaranya merokok tembakau setiap hari dan tidak merokok setiap hari sebesar 1,52 persen.
Persentase itu mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan tahun 2022, di mana penduduk 5 tahun ke ke atas yang merokok setiap hari sebesar 25,73 persen dan tidak merokok setiap hari 1,68 persen.
BPS juga mengungkapkan bahwa rata-rata jumlah batang rokok yang dihisab per minggu pada 2023 sebanyak 94,05 batang rokok dihisap oleh ahli hisab di Provinsi. Angka ini mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2022 yaitu sebanyak 87,01 batang rokok/minggu.
Bila dirupiahkan dengan asumsi harga rata-rata rokok per batang Rp1.500, maka 94,05 batang rokok tersebut setara dengan pengeluaran Rp141.075 per minggu atau Rp564.300/bulan.
Angka itu sudah menguras pengeluaran masyarakat perokok lebih dari seperlima Upah Minimal Provinsi Lampung 2024 sebesar Rp2.716.496,39.
Meskipun telah ada sejumlah kebijakan anti-tembakau, kebiasaan atau gaya hidup merokok sulit untuk dinihilkan karena penerimaan negara atas cukai rokok masih sangat diandalkan.
Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah hanya sebatas menekan jumlah penikmatnya melalui kampanye bahaya rokok terhadap kesehatan dan melakukan pembatasan dengan menetapkan sejumlah kawasan tanpa rokok.
Salah satunya yaitu Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Masalahnya, Perda tersebut belum diterapkan secara bersungguh-sungguh, bahkan belum sepenuhnya dilaksanakan di kantor-kantor pemerintahan dan ruang publik lainnya.
Perda No 8 tentang KTR pasa 17 ayat 1 menyebutkan setiap orang dilarang merokok di KTR.
Ayat 2 mengatur bahwa setiap orang dilarang memproduksi, mempromosikan, mengiklankan, menjual dan atau membeli rokok di KTR, kecuali (pasal 3) untuk tempat umum dan/atau tempat kerja tertentu yang ditetapkan oleh Pergub.
Pasal 18 menyebutkan bahwa setiap pimpinan atau penanggung jawab KTR wajib melakukan pengawasan internal di lokasi KTR yang menjadi tanggung jawabnya, melarang setiap orang yang merokok di KTR yang menjadi tanggungjawabnya, menyinggirkan asbak atau sejenisnya di KTR dan memasang tanda-tanda pengumuman dilarang merokok sesuai persyaratan di semua pintu masuk utama dan tempat-tempat yang dipandang perlu dan mudah terbaca atau didengar dengan baik.
Dan paling penting untuk diketahui, bahwa Perda KTR ini memiliki ruang lingkup meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat kegiatan anak-anak, tempat ibadah, fasilitas olah raga yang tertutup, angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum lainya yang ditetapkan.
Perda KTR ini juga memberikan penghargaan bagi orang atau pihak yang dinilai berhasil menerapkan KTR. Sayangnya belum ada kabar ada orang atau pihak mana yang sudah menerima penghargaan dimaksud.
Setali dengan itu, juga belum pernah ada orang atau pihak yang terkena sanksi administratif atau pidana yang terbukti melakukan pelanggaran, meski hal itu juga diatur dalam perda ini. (iwa)