Bandar Lampung (SL)-Paidi Bin Abdul Roni, Warga Unit 1, yang terdakwa dugaan pencabulan kepada keponakannya divonis 8 tahun enam bulan, denda Rp100 juta, meski fakta persidang sudah menyebutkan korban dan pelapor mengakui korban mengeluarkan pengakuan dan pernyataan diperkosa pamannya, saat kondisi korban tidak sadar (kesurupan,red) alias alusinasi, Selasa 31 Mei 2022.
Sidang dipimpin majelis hakim, Pengadilan Negeri Mengala, Hakim Ketua Doni SH, Yulia Putri SH, Marlina SH, MH, jaksa penuntut umum yang sempat tiga kali ganti, kini langsung Kasis Pidum Andre SH, MH, dengan panitra Lisa SM HM.
“Terdakwa dan keluarga tidak pusa dengan putusan ini, dan kami menyatakan bandi. Karena kami lihat ada kekeliruan hakim dalam memutuh perkara ini. Putusan tidak melihat utuh seluruh fakta-fakta persidang, pledoi-pledoi, bukti bukti dan saksi-saksi yang membatah tuduhan itu,” kata M Ali,
Menurut Ali, anak ini (korban, red), sebelumnya mengalami alusinasi kerasukan. Kemudian disadarkan oleh orang tua dan keluarga, serta dukum. Lalu terucap kata kata diperkosa pamannnya. Atas dasar itu, itu keluarga korban marah dan menuduh terdakwa sebagai pelaku.
“Lalu, setelah korban sadar ditanya, dan mengakui ucapan itu diluar kesadaranya. Dan tidak tahu motif apa ini. Waktu yang dituduhakn adalah saat terdakwa diundang acara 100 hari alm ayah korban. Ini fakta hukumnya, lalu besoknya kerasukan. Kejadian di perkara itu jam 16.30 menit. Sementara terdakwa 17.30 baru ke lokasi, jadi siapa pelakunya. Peldoi dan alibi-alibi tidak sama sekali dihirauiakn majelis,” katanya.
M Ali menyebutkan, pihaknya sedang menyiapkan materi banding, dan akan menyurati Komisi Yudisial, dan Komisi Kepolisian untuk melihat kasus ini. “Kita akan luruskan kekeliruan ini. Sehingga kebenaran bisa terungkap,” katanya.
Keluarga Histeris
Mendengar putusan hakim, Paidi dan kuasa hukumnya,Kantor HUkum Butet Stefy Astiromi Siahaan dan Rekan, didampingi Muhammad Ali, Wahyu Widiyatmiko, Febrian Wiily Atmaja, dan Butet Stefy Astiromi Siahaan, menyatakan banding. Keluarga besar Paidi, sontak histeris di persidangan. Istri dan anak-anak, dan penggiat masyarakat yang mengawal kasus itu itut histeris dan menuding hakim tidak adil, dan justru menghukum orang yang tidak bersalah.
“Kami tetap akan terus mencari keadilan. Bagaimana hukum ini bisa menjatuhkan vonis hanya berdasarkan bukti-bukti yang diadakan atau direkayasa. Padahal tuduhan itu juga sudah dibantah sendiri oleh pelapor dan korban,” kata Ketua UMM DPP Komisi Pembela Hukum dan Hak Asasi Manusia (KP. Kum Ham) Provinsi Lampung Riswan Mura, di pengadilan.
Menurut dia, persidangan kasus dugaan pencabulan terhadap anak di Pengadilan Menggala, Tulang Bawang Lampung dinilai tidak adil dalam menerapkan supremasi hukum. Karena itu pihaknya mengatakan keberatan dengan keputusan yang dilakukan Pengadilan Negeri Menggala, Tulang Bawang, Lampung.
”Hari ini tertanggal 31/5/2022 telah di lakukan persidangan di pengadilan negeri Menggala atas kasus saudara Paidi Bin Abdul Roni. Dimana terduga telah di laporkan beberapa waktu lalu dengan laporan polisi bernomor : LP/324-B/1×/2021/Polda Lampung/Resor Mesuji/SPKT/tanggal 1 September/2021 tentang terjadinya peristiwa dugaaan persetubuhan dan perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur,” Kata Riswan ke Wartawan, Selasa 31 Mei 2022.
Menurutnya, hakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa dengan pasal 82 UU 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan pasal 55 ayat 1 KUHP jo pasal 64 KUHP. ”Kami nilai hakim telah menjatuhkan hukuman penjara selama 8 tahun enam bulan serta denda sebesar Rp 100.000.000. Atas pertimbangan hakim saudara Paidi Bin Abdul Roni telah di tetapkan sebagai terpidana di pengadilan negeri Menggala,” Ujar Riswan.
Karena itu, Paidi dan kuasa hukum, serta keluarga besar mengajukan permohonan Banding karena tidak menerima putusan Pengadilan Negeri Menggala tersebut. Putusan Pengadilan Negeri Menggala janggal dan di duga tidak netral serta ada keberpihakan terhadap kasus ini. “Kami tidak akan terima kasus ini sehingga istri dan anak anak, keluarga, simpatisan, masyarakat pecinta keadilan menjerit-jerit minta tolong kepada hakim untuk membebaskan saudara Paidi Bin Abdul Roni,” katanya.
Menurut Riswan Mura, Paidi diyakini oleh masyarakat sebagai sosok yang baik. Adanya laporan dugaan pencabulan yang didasari bukti kurang cukup itulah Riswan menyangka pihak Pengadilan Negeri Menggala tidak adil dalam menerapkan saksi hukum.
”Sodara Paidi Bin Abdul Roni selama ini sangat di yakini oleh pihak keluarga besar sendiri tidak mungkin melakukan hal tersebut. Apalagi dalam perjalanan sidangnya tidak memenuhi standar krateria alat bukti yang cukup sesuai pasal 184 KUHAP. Keluarga besar serta masyarakat tau persis watak kepribadian saudara Paidi Bin Abdul Roni beliau orang baik dan ahlaq nya terkenal ramah dan lemah lembut serta rajin ibadah,” Ujar Riswan.
Karena itu, kata Riswan, pihaknya DPP Kumham Lampung dan masyarakat akan terus mengawal kasus ini sampai ke tingkat kasasi Mahkamah Agung. ”Kami sebagai keluarga besar, simpatisan, serta para aktivis hukum dan ham yang hadir dalam rangka memberikan partisipasi serta suport terhadap Paidi Bin Abdul Roni,” katanya.
Istri Paidi, Arneli bersama para tim kuasa hukum akan terus bergerak pantang meyerah dan akan membawa kasus ini kepada instansi terkait, “Kami akan mengajukan permohonan Banding, kasasi MA dan bila perlu kami sampaikan kepada presiden Republik Indonesia di Jakarta. Kami akan laporkan para penegak hukum yang terlibat dalam skandal mempenjarakan orang yang tidak bersalah itu,” kata Riswan Mura.
Riswan, bersama keluarag besar, hanya berharap keadilan dalam hukum harus terus ditegakkan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. “Kami meminta Ketua Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung bisa memutuskan berdasarkan bukti permulaan yang cukup serta keterangan saksi-saksi dan tidak hanya mengacu pada hukum formal melainkan kepada hukum sesuai pasal 183 KUHAP,” katanya.
Riswan menegaskan keputusan tersebut harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup beserta keyakinan hakim yang cukup yaitu dengan memakai hati nurani. ”Tentunya kasus ini merupakan preseden buruk atas penegakan hukum yang ada di wilayah hukum Menggala provinsi Lampung,” Tegasnya.
Menurut Riswan, hukum menjadi mudah menjerat orang, ketika ada yang mengaku di perkosa, lalgu disiapkan pakaian apa saja, lalu saksi ahli kandungan bukan ahli porensik dalam peristwa perkosaan. Lalu dalil dalil hukum secara teori, bukan dalam pembuktian kebenaran. “Bagaimana ini dengan mudah membuat finah, lalu orang dihukum, divonis.
“Pengadilan hanya berdasarak formalitas. Saksi yang melihat, saksi yang berbuat, bukti-bukti lain, yang menguatkan. Semua saksi dan bukti pelapor dalam sidang saja sudah bisa dimentahkan dengan bukti-bukti dan saksi-saksi yang ada. saksi-saksi yang meringatkan dan terlibat langsung tidak diberi kesempatan bersaksi, ini bagaimana,” katanya. (red)