Bandar Lampung (SL)-Program Pangan Non Tunai (BPNT) melalui Dinas Sosial (Dinsos), se- Provinsi Lampung kepada 430.000, kepala keluarga di Lampung sarat korupsi. Kongkalikong suplayer hingga pejabat dinas, dan penyaluran Bantuan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Tahun 2019 tidak sesui dengan nilai penerima Rp110 ribu/ perkepala keluarga. Bantuang itu menguap Rp14 miliar lebih perbulan.
“Ya ini kami baru terima satu karung beras 10 kg, telur 2 kilo, ubi, dan aadaa buah pir sekitar satu kilo,” kata Ibu Minah, di Lampung Timur. “Ga tau soal brapa brapanya, kami cuma datang dikasi bukti transaksi, Rp200 ribu, ini barangnya,” katanya, yang juga dialami para penerima BPNT di Lampung Selatan, Bandar Lampung, Kota Metro, Lampung Tengah.
Fariza Novita Icha, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Peduli Lampung (GPL) meminta aparat penegak hukum melakukan proses hukum atas dugaan memakan hak rakyat itu, karena BPNT untuk Bansos Rastra masyarakat mendapatkan 10kg beras tanpa biaya tebus, dan untuk BPNT masyarakat mendapat bantuan nontunai sebesar Rp110 ribu perbulan untuk membeli bantuan pangan berupa beras dan telor di KUBE Jasa atau E-Warong yang bekerjasama dengan bank penyalur setempat.
“Program BPNT merupakan upaya mereformasi program Rastra yang dilaksanakan berdasarkan arahan Presiden Republik Indonesia untuk meningkatkan efektifitas dan ketepatan sasaran program. Bukan untuk ajang korupsi,” katanya.
Menurut Icha, meski penyaluran Bantuan Pangan secara Non Tunai sudah melalui sistem perbankan yang dimaksudkan untuk mendukung perilaku produktif masyarakat melalui fleksibilitas waktu penarikan bantuan, tapi faktanya justru menjadi ajang korupsi baru. “Mental pejabat korup, pengusaha korup itu harus di proses hukum,” kata Icha, yang akan melaporkan langsung temua mereka.
Seperti di ketahui, kata Icha, Dinsos se-Provinsi Lampung, pada Tahun 2019, mendapat kuota bantuan KPM dari Kementrian Sosial ( Kemnsos RI) sekitar 430.000, kepala keluarga. Sedangkan berdasarkan data pula setiap KPM seharusnya menerima bantuan seniali Rp110 ribu rupiah.
Penyaluran BPNT pada Tahun 2019, senilai Rp110 ribu/ KPM di sejumlah kabupaten se-Provinsi Lampung, hanya direalisasikan kepada warga sejumlah 8 kg beras dan 6 butir telur. Jika dihitung dengan harga pada tahun 2019 lalu, untuk 1 kg beras hannya seharga Rp9.000 dan telur 1 butirnya seharga Rp1500. Bila dihitung keseluruhan dari jumlah bantuan yang dianggarkan dengan barang yang diterima maka diketahui terdapat selisih harga sekitar Rp29.000, dan terjadi hampir disemua kabupaten.
“Dari pemotongan anggaran tersebut, rata-rata pihak suplyer mendapat keuntungan senilai Rp29.000. Jika dikalikan kuota se Lampung atau dikali 430.000 , maka ditemukan jumlah dugaan pennyimpangan senilai Rp14,5 miliar lebih. Selama satu tahun, atau Rp14,5 miliar dikaali 12, maka pertahun terjadi penyimpangan Rp174 miliar lebih,” tegas Icha.
Sementaraa untuk tahun 2020, program sembako yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk warga miskin merupakan pengembangan dari Program Pangan Non Tunai (BPNT) dan yang berubah adalah Indeks bantuan dan jenis bahan pangan yang diberikan dan memperhatikan gizi dan bahan pangan yang diberikan.
“Arahan Presiden Republik Indonesia, pada tahun 2020 ini adanya perubahan dari sebelumnya Rp110 ribu menjadi Rp150.000, kemudian bahannya diperluas, sekaligus program ini juga untuk bantuan program pencegahan stunting karena adanya gizi yang diperhatikan,” katanya.
Pada bulan Maret 2020, ada penambahan Rp50 ribu sehingga menjadi Rp200.000, penambahan ini salah satu kebijakan untuk menangani permasalahan convid 19. “Kami dari beberapa lembaga yang tergabung telah melakukan tekanan aksi damai baik di pemerintah daerah maupun pada instansi yang terkait agar program sembako dari BPNT bisa berjalan sesuai aturan yang berlaku,”tambahnya. (Red)