Bandar Lampung, sinarlampung.co-Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung masih terus melakukan pendalaman terhadap korupsi Proyek jalan tol tahun anggaran 2017 hingga 2019 menelan anggaran lebih dari Rp1,2 triliun, dengan kerugian negara Rp66 miliar. Penyidik mengincar tersangka baru dari kasus dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Jalan Tol Terbanggi Besar–Pematang Panggang–Kayu Agung itu.
Baca: Dua Pejabat BUMN PT Waskita Karya Ditahan Kejati Lampung Amankan Uang Rp2 Miliar
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Lampung, Armen Wijaya menjelaskan bahwa pihaknya masih akan terus melakukan pengembangan perkara ini, dan mengungkapkan akan menetapkan tersangka lain. Menurut pihaknya masih berusaha semaksimal mungkin mengumpulkan bukti tambahan. “Penyidikan masih terus berlanjut dan terus dikembangkan. Insya Allah akan ada tersangka lainnya. Hal ini agar kerugian negara bisa dipulihkan,” kata Armen Rabu 23 April 2025.
Sebelumnya Pidsus Kejati Lampung telah menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi Proyek Pembangunan Jalan Tol yang berlangsung pada tahun anggaran 2017 hingga 2019 dengan anggaran lebih dari Rp1,2 triliun, yaitu yakni Widodo (WM alias WDD), Kasir Divisi V PT Waskita Karya, dan Juanta Ginting (TG alias TWT), Kepala Bagian Akuntansi dan Keuangan Divisi yang sama.
Penetapan tersangka ini merupakan hasil pengembangan dari penyelidikan sebelumnya yang mengungkap dugaan penyimpangan dana melalui skema vendor fiktif. Dalam temuan awal, penyidik mendapati kejanggalan dalam dokumen pembayaran dan tidak adanya aktivitas nyata dari sejumlah rekanan proyek yang tercatat menerima dana.
Kejati Lampung kembali menyita uang terkait penyidikan kasus dugaan korupsi proyek Jalan Tol Terbanggi Besar–Pematang Panggang–Kayu Agung (Terpeka). Total uang yang telah diamankan kini mencapai Rp2 miliar. Penyitaan pertama dilakukan pada Rabu, 16 April 2025, sebesar Rp1,6 miliar. Tambahan sebesar Rp400 juta disita pada Senin malam, 21 April 2025. Hingga total Rp4 Miliar.
Untuk diketahui PT Waskita Karya (Persero) Tbk telah terlibat dalam beberapa kasus korupsi, termasuk kasus pembangunan Light Rail Transit (LRT) di Sumatera Selatan. Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan (Kejati Sumsel) telah menetapkan tiga pegawai Waskita Karya sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Ketiga Tersangka adalah pegawai Waskita Karya, termasuk Kepala Divisi II. Modunya markup dalam kontrak pekerjaan perencanaan, serta aliran dana berupa suap/gratifikasi senilai Rp25,6 miliar.
Di Kejaksaan Agung RI, juga menetapkan Direktur Utama PT Waskita Karya (Persero) Tbk, Destiawan Soewardjono, sebagai tersangka perkara dugaan korupsi. Destiawan menjadi tersangka perkara penyimpangan penggunaan fasilitas pembiayaan dari beberapa bank oleh Waskita Karya dan anak usahanya, PT Waskita Beton Precast Tbk.
Korupsi Tahun 2022
Pada tahun 2022, Tim Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung), menetapkan tiga orang tersangka kasus dugaan korupsi penyimpangan penggunaan fasilitas pembiayaan dari beberapa bank yang dilakukan oleh PT Waskita Karya (persero) Tbk. dan PT Waskita Beton Precast, Tbk.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, menyatakan terhadap ketiganya langsung dilakukan penahanan. “Adapun tiga orang tersangka tersebut yaitu, THK selaku Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Waskita Karya (persero) Tbk. periode Juli 2020 – Juli 2022, HG selaku Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Waskita Karya (persero) Tbk. periode Mei 2018 – Juni 2020, dan NM selaku Komisaris Utama PT Pinnacle Optima Karya,” kata Sumedana dalam keterangan yang diterima InfoPublik, Kamis 15 Desember 2022.
Ketiga tersangka langsung ditahan di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari terhitung sejak 15 Desember 2022 sampai dengan 3 Januari 2023.
Dalam perkara itu, tersangka HG dan THK telah secara melawan hukum bersama-sama dengan tersangka BR (yang telah ditahan sebelumnya) menyetujui pencairan dana Supply Chain Financing (SCF) dengan dokumen pendukung palsu.
Untuk menutupi perbuatannya tersebut, dana hasil pencairan SCF seolah-olah dipergunakan untuk pembayaran hutang vendor yang belakangan diketahui fiktif. Sementara tersangka NM telah secara melawan hukum menampung aliran dana hasil pencairan SCF dengan cover pekerjaan fiktif dan selanjutnya menarik secara tunai. (Red)