Oleh: Ilwadi Perkasa
Jujur saja, saya tidak kaget dengan kasus suap yang menimpa komisioner KPU RI Wahyu Setiawan. Bagi saya itu kasus biasa yang bisa menimpa siapa saja, terutama bagi individu yang menggenggam kekuasaan atau jabatan strategis. Saya tidak kaget, karena sejak lama memahami ada relevansi dari setiap peristiwa pengungkapan kasus korupsi/suap dengan pernyataan-pernyataan yang disampaikan para pelaku sebelumnya.
Kasus korupsi Anas Urbaningrum dan Angelina Sondag misalnya. Sebelum mereka ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), keduanya kerap nongol di tivi menjadi model iklan anti korupsi. Namun beberapa bulan kemudian, keduanya ditangkap KPK atas kasus korupsi proyek Hambalang, Kemenpora dan Kemendiknas. Kini keduanya masih menjalani hukumannnya.
Anas, anak muda yang tampan dan digadang-gadang menjadi pemimpin masa depan akhirnya divonis hukuman 8 tahun pidana penjara oleh majelis hakim karena terbukti korupsi menerima hadiah dan tindak pidana pencucian uang pada September 2014 lalu. Belakangan, Artidjo Alkostar, hakim Mahkamah Agung yang dikenal garang, menambah hukuman Anas menjadi 14 tahun pada sidang kasasi di MA pada Juni 2015.
Beruntung ia tidak dihukum digantung di Monas, sesuai janjinya.
Sedangkan Angelina Sondakh, terpidana korupsi kasus suap di proyek Kemenpora dan Kemendiknas pada tingkat pertama dihukum 4,5 tahun penjara dan pada tingkat kasasi dinaikkan tiga kali lipat menjadi 12 tahun penjara pada November 2012. Majelis yang diketuai Artidjo Alkostar juga menyita seluruh harta Angie total Rp 39 miliar. Belakangan, mantan Putri Indonesia itu mengundi nasib dengan mengajukan peninjauan kembali (PK). Meski tidak dikabulkan seluruh harapannya, Mahkamah Agung (MA) memberikan ampunan dan belas kasihan yaitu dengan menyunat hukuman dari 12 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara pada Desember 2015.
Entahlah, bagaimana keadaan Si Cantik ini saat ini. Semoga ia sehat dan diberikan kekuatan menjalani hukumannya. Semoga dia tetap dalam keimannnya, Islam.
Lalu, kasus Akil Mochtar, ia dihukum seumur hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 12 November 2014 atas perkara suap sengketa pilkada. Padahal, beberapa bulan sebelum Akil digaruk, ia sempat dengan entengnya mewacanakan hukuman potong kelingking untuk koruptor.
Akil beruntung kelingkingnya masih utuh.
Kini ada lagi kasus suap oleh Wahyu Setiawan, komisioner KPU RI. Sebelum kasusnya terungkap, Wahyu pernah sangat garang menyatakan akan menindak tegas penyelenggara pemilu yang terlibat gratifikasi dalam Pilkada di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ketegasan tersebut dibuktikan dengan pelaporan kasus gratifikasi tersebut ke Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) pada Februari 2018 lalu.
Saat itu, Wahyu terkesan sebagai komisioner KPU yang bersih dari korupsi, tegas, jujur dan punya integritas yang tinggi. Saya mencatat beberapa kutipannya di media massa yang justru bertolakbelakang dengan fakta yang menimpanya saat ini. Kala itu Wahyu mengatakan kasus gratifikasi komisioner KPU Garut akan menjadi momentum pihaknya dalam menjaga integritas dan wibawa penyelenggara pemilu. “Ini momen untuk kami sebagai penyelenggara untuk berhati-hati dan senantiasa menjaga integritas,” kata Wahyu saat itu.
Singkat kata, setelah itu Komisioner KPU Kabupaten Garut Ade Sudrajad diberhentikan dan ditangkap Polda Jawa Barat atas kasus suap.
Kini, dengan kasus serupa, Wahyu juga ditangkap.
Dan semakin jelas, bahwa perkataan tidak selalu dengan perbuatan.
Sekali lagi, saya tidak kaget! (*)