DESEMBER 2019 adalah hari-hari mencekam bagi petani yang berladang di hutan sekitaran Gunung Dempo, Sumatera Selatan, menyusul tewasnya enam orang diterkam Harimau Sumatera secara berurutan dalam sebulan ini. Harimau Sumatera keluar dari sarangnya, masuk perkebunan masyarakat dan berkonflik dengan manusia.
Terakhir, harimau memangsa seorang wanita warga Dusun V, Desa Padang Pindu, Kecamatan Panang Enim, Kabupaten Muara Enim. Janda Sulistiawi (30) tewas tercabik cabik saat mandi di aliran sungai, dalam hutan masyarakat, Jumat, 27 Desember 2019.
Situasi makin mencekam, sebab menurut keterangan sejumlah warga, harimau yang berkonflik dengan manusia tidak tunggal, tapi kawanan. Seorang warga Desa Tebat Benawa, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Sumsel, mengaku sempat dikepung kawanan harimau di ladangnya. Dia harus bertahan di dalam pondoknya dengan rasa takut yang luar biasa. Dia melihat kawanan harimau datang, mengaum dan terus menerornya.
Fenomena ini sebenarnya sudah pernah terjadi sebelumnya, terutama di lanskap yang menghubungkan Gunung Dempo dengan Gunung Fatah [Muaraenim, Lahat dan Pagaralam dan Bengkulu]. Konflik manusia dengan kawanan Harimau di Sumatera pernah terjadi beberapa puluh tahun lalu. Tepatnya di Desa Semidang, Bengkulu Tengah, Bengkulu.
Pada 1938, saat nama Desa Semidang masih Dusun Karang Nanding, ada kawanan harimau yang turun dari kantongnya di Bukit Jengi. Mereka memakan ternak warga. Warga marah, lalu memburu harimau. Seekor harimau tewas dibunuh ramai-ramai. Kepalanya digantung dekat pos keamanan dusun. Berulang kali dipukul seperti kentongan.
Tak beberapa lama, sekawanan Si Raja Rimba berkumpul di Bukit Kabu, tak jauh dari Dusun Karang Nanding untuk melakukan serangan balasan. Area serangannya makin meluas, tak cuma di dusun itu, tapi mencakup Dusun Tengah Padang, Gajah Mati, Karang Nanding Lama, Telarangan, Sekuang Karang Anyar, Tanah Liuk dan Katup Becap.
Harimau menyerang warga di tengah kebun, di rumah, maupun di jalan. Pagi, siang, maupun malam. Ada manusia yang mati. Karena takut setelah diteror empat tahun lamanya, akhirnya masyarakat dusun pindah ke Kota Bengkulu, Rejang Lebong, Kepahiang, dan lainnya. Dan pada 1980-an atau 35 tahun kemudian, ketika harimau tidak lagi terlihat di dusun, warga yang mengungsi kembali.
Hendra Gunawan, Profesor Riset dan pengajar di Institut Pertanian Bogor [IPB] mengatakan harimau adalah pemangsa puncak dalam rantai makanan ekosistem hutan tropis Sumatera. Pemangsa puncak memiliki wilayah jelajah paling luas di antara satwa lain, jauh lebih luas dari mangsanya.
Jelajah harimau bisa lintas kabupaten atau provinsi. Meski satwa tidak mengenal batas-batas wilayah, mereka hanya mengenal batas wilayah sendiri yaitu teritori. “Konsekuensinya, harimau membutuhkan hutan luas untuk mendukung keberlangsungan hidupnya. Kita mengenal dengan istilah lanskap hutan. Jika bentangannya masih nyambung [kompak] maka harimau tidak akan bertemu jalan, permukiman atau perkebunan. Namun, saat ini hutan sudah banyak terfragmentasi [terpotong] jalan, pemukiman, pertanian, perkebunan, pertambangan, jaringan kanal irigasi, atau SUTET,” ujarnya.
Akibatnya, harimau akan menyeberang jalan, melewati permukiman atau masuk perkebunan. Satwa liar pada umumnya memiliki jalur jelajah tetap dan rutin dijelajahi jika tidak ada gangguan,” lanjutnya.
“Poin pentingnya, jika habitat harimau rusak, peluang terjadinya konflik dengan manusia terbuka.”
Secara common sense, banyaknya konflik satwa dengan manusia mengindikasikan habitatnya terganggu. “Secara naluri, satwa pemangsa hanya memakan satwa yang secara alami disediakan alam. Perilaku menyimpang ketika ada satwa liar memangsa ternak atau manusia, bisa dilihat dari beberapa sudut pandang,” jelas Hendra.
Foto: Harimau sumatera, saat ditemukan kena jerat kawat pemburu di kawasan hutan TNBBS, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, 2 Juli 2019. Foto: BKSDA Bengkulu-Lampung/WCS IP
Satwa menyerang manusia biasanya karena terpaksa untuk mempertahankan diri, merasa terancam, bukan untuk mencari kenyang. Kejadian seperti ini bisa terjadi ketika satwa kepergok manusia, atau manusia secara sengaja memburu, mengintimidasi, atau berkonfrontasi langsung dengan satwa.
“Satwa juga memiliki perilaku belajar [learning behavior], ketika memangsa ternak dianggapnya mudah dan enak, maka dia akan mengulangi, terutama ketika mangsa alaminya tidak ada lagi di alam.”
Sayangnya, jelas Hendra, belum ada penelitian khusus tentang perilaku harimau memangsa manusia, termasuk menjelaskan motivasi dan penyebabnya.
“Satwa umum, hanya menggunakan nalurinya [instinct]. Ketika harimau memakan manusia, pastinya harimau itu menganggap manusia sebagai bagian dari menu mangsa. Bisa saja ketika penyadap getah karet [manusia] membungkuk menyadap pohon karet, tampak dari belakang harimau sebagai buruannya. Ini dugaan-dugaan yang berkembang. Secara alami harimau menangkap mangsa dari belakang dan menerkam atau menggigit bagian mematikan yaitu tengkuk, sehingga mangsa tidak sempat melakukan perlawanan, langsung tewas.”
Apa yang harus dilakukan guna mencegah fenomena konflik manusia dengan harimau?
“Yang harus dilakukan pemerintah antara lain mencegah kerusakan hutan semakin parah. Caranya, melalui penataan ruang yang bijak dan ramah konservasi. Misalnya ketika membangun jalan yang memotong hutan, usahakan tidak merusak jalur habitat satwa seperti membuat jalan layang di atas kanopi hutan atau terowongan. Atau menyediakan koridor penyeberangan satwa.”
Upaya ini seperti yang direncanakan dalam pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera yang menghubungkan Pekanbaru-Dumai sepanjang 131 kilometer, yang melintasi habitat gajah sumatera.
Keluarnya kelompok harimau dari habitatnya, sebenarnya bukan hanya mengancam jiwa manusia, tapi juga harimau. “Semua orang tahu jika harimau itu satwa yang tidak mudah berkonflik dengan manusia. Konflik terjadi jika ada sesuatu yang menyebabkan mereka sangat terganggu,” kata Muklis, pegiat budaya tradisi dari Yayasan Alam Melayu Sriwijaya [Malaya].
Kemungkinan besar, kata Muklis, kawanan harimau sumatera di Sumsel dan Riau keluar dari kantongnya karena ada perburuan atau pembunuhan terhadap induk dan anak-anaknya. Atau juga, sumber makanannya habis.
Persoalannya bukan itu saja. “Yang lebih mencemaskan adalah ketika manusia memandang harimau sebagai musuh karena kehadirannya di sekitar lingkungan manusia. Sebagai musuh yang dinilai meneror kehidupan manusia, bukan tidak mungkin ada sekelompok manusia yang akan melakukan serangan terhadap harimau. Bukankah manusia memiliki banyak akal dan alat pembunuh dibandingkan harimau,” kata Muklis.
Pertama, masyarakat harus dihimbau agar tidak memiliki keinginan membunuh harimau. Hentikan aktivitas seperti pertanian perkebunan yang diyakini sebagai “rumah” harimau. Jika masyarakat melakukan “balas dendam” bukan tidak mungkin akan terjadi serangan kawanan harimau yang lebih besar.
Kedua, aparat yang mengamankan situasi konflik harimau dan manusia untuk tidak menggunakan peluru tajam, tapi menggunakan peluru bius jika terpaksa melumpuhkan harimau.
Ketiga, harimau yang sudah dilumpuhkan dan direhabilitasi sebaiknya kembali dilepasliarkan di habitatnya. “Agar hutan rimba terjaga, jika tidak ada lagi yang ditakuti kemungkinan besar hutan akan mudah dirambah. Jika hutan rimba habis, hancurlah ekologi kita dan ujungnya peradaban kita pun runtuh,” kata Muklis.
Terkait harimau yang dilepasliarkan setelah direhabilitasi, kata Hendra Gunawan, harimau [terutama jantan] adalah karnivora yang memiliki sifat “territorial.” Sehingga, ketika ada harimau tertangkap karena keluar hutan, tidak serta merta bisa dilepakan ke lokasi asalnya.
Kalau dia keluar karena kalah berebut wilayah dengan jantan lain, maka tidak bisa dikembalikan ke asalnya karena nanti akan diusir lagi oleh jantan penguasa. “Makanya harimau yang tertangkap itu perlu dipindah [translokasi] ke tempat lain yang sesuai dan masih ada ruang untuknya.”
Orang awam sering salah paham, semua satwa yang tertangkap harus dilepas begitu saja. Kalau satwa yang tidak bersifat teritorial, bisa saja, tetapi satwa teritorial seperti harimau dan karnivora umumnya tidak bisa begitu. “Perlu dikaji penyebab serta daya dukung dan daya tampung habitat karena menyangkut wilayah kekuasaan,” tegasnya.
Bagi masyarakat di sekitar Gunung Dempo ada keluhuran budaya yang sampai kini masih dipercaya dapat mendamaikan manusia dengan harimau, yakni melalui sedekah dusun. Sayangnya, pendekatan budaya bermuatan mistis ini belum dilakukan. Padahal dari pengalaman para tua-tua adat sebelumnya, pendekatan model ini dirasa memberi manfaat, setidaknya mengurangi kecemasan.
Harimau bagi masyarakat adalam penguasa Gunung Dempo yang dijuluki Sultan Pangeran Panglima Kumbang. Pangeran ini sangat dihormati warga setempat, ditandai dengan penamaan sebuah di lokasi Tugu Rimau di bahu Gunung Dempo. Di sinilah, Sang Panglima Kumbang, konon bertahta.
Sedekah dusun, dulu biasa dilakukan oleh gabungan beberapa dusun, dengan menghadiahkan semblihan 25 ekor kambing atau satu ekor kepala sapi. Acara ini dilakukan dengan ritual keagamaan yang tujuannya sebagai permintaan maaf kepada harimau. (dbs/iwa)