Lampung Timur (SL) -Bupati Lampung Timur H. Zaiful Bukhori, S.T MM angkat bicara atas dugaan pengelapkan uang ratusan juta rupiah dari hasil pemotongan pembayaran ganti rugi tanah belasan orang masyarakat warga Desa Tanjung Qencono dan Desa Tambah Subur.
Bupati menganjurkan agar kasus itu dilaporkan ke Polres Lampung Timur atau ke Direktur Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Lampung. “Kalau begitu, laporkan saja ke pihak Kepolisian bila perlu langsung ke Diskrimum Polda Lampung. Sebab, ini sudah menyangkut pidana murni tentang penipuan dan penggelapan,” kata Zaiful Bukhori saat menerima audensi dengan Ketua Bidang Investigasi NGO JPK Korda Lamtim, Ropian Kunang dan sekretarisnya Mirwan Sofik , di ruang kerjanya, Kamis siang, (25/07/2019).
Bupati menerima NGO JPK yang melaporkan adanya dugaan perbuatan penipuan dan penggelapan yang dilakukan oleh Samsul Arifin, Kepala Desa Tanjung Qencono, dan Mareo Korompis, warga Desa Tambah Subur Kecamatan Way Bungur.
atas 68 bidang tanah seluas 25 hektar di Desa Tanjung Qencono untuk lokasi kegiatan industri produksi tepung tapioka CV. Agri Star Cabang Lampung.
Menurut Zaiful, terkait dengan izin itu semua sudah ada ketentuannya, kecuali perusahaan Sorini yang ada di kecamatan Way Bungur, karena didirikan sebelum ada Perda RTRW sehingga tidak bisa dipindahkan.
“Siapa saja yang terlibat dalam pembebasan tanah itu, harus bertanggungjawab termasuk pihak Kantor Pertanahan. Jangankan di perusahaan, masuk pekarangan rumah orang lain kita perlu izin sebab ada sanksi pidananya,” pungkas Bang Iful.
Zaiful juga mengakui, telah memanggil dan menanyakan kepada pihak kepala desa (red). “Mereka semua sudah saya panggil disini, sepanjang pembebasan tanah itu melanggar Perda 04/2012 tentang RTRW maka izin tidak dikeluarkan, karena disitu bukan wilayah industri atau agropolitan,” tambahnya.
Perihal pembebasan tanah harus ada yang bertanggungjawab, termasuk Kepala Kantor Badan Pertanahan Agraria Tata Ruang Kabupaten Lampung Timur.
“Nanti kita lihat, kalau ada keterlibatan Kepala Desa Tanjung Qencono Samsul Arifin. Jika dia ada peran dari skenario ini, maka akan diberhentikan dari jabatannya. Tentunya setelah ada pemeriksaan dari pihak kepolisian. Samsul juga gampang-gampang susah dicari untuk ditemui,” ujarnya.
Menyikapi itu, Ketua NGO JPK Korda Lamtim, Sidik Ali sangat mengapresiasi atas sikap Bupati Zaiful yang telah mendukung dan memberikan restu untuk melaporkan kasus ini kepada aparat penegak hukum atas dugaan penipuan dan penggelapan yang di lakukan Samsul CS.
Dalam waktu dekat, NGO JPK akan melayangkan surat laporan kepada penegak hukum. “Dalam hal ini, kami NGO JPK sedang memilah mana yang masuk ke ranah pidana umum dan pidana khusus, juga masih mempertimbangkan apakah persoalan ini harus dilaporkan ke Polres Lamtim dan Kejari Sukadana atau langsung ke Polda Lampung seperti yang dikatakan Bapak Zaiful,” kata Sidik.
NGO JPK juga akan mempersiapkan aksi damai atau unjukrasa sesuai dengan rencana kegiatan (rengiat) dalam penyampaian aspirasi masyarakat, sekaligus mendampingi pihak yang merasa dirugikan atas penipuan tersebut.
“Sesuai rencana, kami akan menggelar aksi unjuk rasa sekaligus meatangkan persiapan. Kami akan kerahkan masyarakat Tanjung Qencono dan Tambah Subur yang merasa dirugikan,” ujar Sidik.
Berita sebelumnya, Rabu 20/03/2019. Syamsul Arifin Kepala Desa Tanjung Qencono, Kecamatan Way Bungur, Lampung Timur akhirnya mengakui keterlibatan dirinya tentang Fee jual beli tanah transkasi Rp13 miliar. Dia mengaku menjual pada pihak perusahaan agar warga mengikuti jejaknya. Terkait tudingan Fee Syamsul masih tertutup.
Samsul juga menceritakan awal terjadinya jual beli tanah tersebut, pertama kali diri yang menjual tanah kepada pihak perusahaan dengan harapan masyarakat juga mengikuti tentang apa yang dia lakukan.
“Pertama saya menjual tanah kepada Niki, dengan harapan masyarakat mau menjual juga tanah kepada pihak perusahaan,”ujarnya didampingi Nasib, Babinsa dan Nyoman Suprapto Babinkamtibmas di Desa Tanjung Qencono.
Setelah dijual, dirinya juga pernah menayangkan kekurangan pembayaran yang kurang kepada Niki, tetapi Niki masih sakit di Jakarta. “Iya saya pernah sampai kepada pak Niki, tetapi bapak Niki masih dalam pemulihan kesehatan karena baru-baru ini saya mendapatkan kabar kaki nya sedang diamputasi,” katanya.
Terkait sejauh mana keterlibatan dirinya, dia tidak bisa menjelaskan lebih jauh, karena beralasan ada yang perlu dikatakan dan ada juga yang dirahasiakan. “Tentunya saya tidak bisa menjelaskan lebih jauh hal ini, karena ada yang sifatnya rahasia dan ada juga bisa disampaikan, Nanti saja setelah dia sembuh kita sama-sama akan menanyakan kepada dia, tentang bagaimana kekurangan pembayaran tersebut,” janjinya.
Saymsul Arifin juga mengetahui pembayaran melalui buku rekening yang kurang, dan dia juga merasakan ditipu oleh kaki tangan perusahaan, Niki Eryanto. “Hal ini bukan hanya masyarakat, malah sayapun yang merasakan ditipu oleh pihak pembeli,” dalihnya.
Berita sebelumnya, Kamis (14/03) Kasus penggelapan fee jual beli lahan Rp13 miliar di Desa Tanjung Qencono, Kecamatan Way Bungur, Lampung Timur, yang rencananya akan di bangun Perusahaan Industri tapioka milik BW, warga asal Kabupaten Surabaya, Jawa Timur, dengan kuasa untuk pembebasan kepada Niki Eriyanto, warga Desa Tambah Subur, Kecamatan Way Bungur, menuai persoalan baru, Kamis (14/03/2019).
Pasalnya, puluhan hektare lahan itu di beli itu terjadi banyak pelanggaran kesepakatan. Awalnya, pemilik lahan seluas 5000 m3, atau atau setengah hektar, janji akan dibayar senilai seratus juta bagian daratan, sedangkan lahan yang bagian Rawa diberi harga bervariasi.
“Dulu kesepakatannya perseperempat dibayar seratus juta itu yang di daratan, dan punya saya ada dua perempat, jadi seharusnya dua ratus juta, tapi ini kok cuma di transfer Rp150 juta, berarti masih kurang 50 juta lagi,” katanya MP, pemilik lahan.
“Saya sudah berupaya untuk meminta kekurangan itu. Namun mereka saling lempar, saya tanya dengan pak lurah Samsul Arifin, pak lurah menyarankan ke tempat pak Niki, giliran saya kerumah pak Niki, pak Niki suruh tanya dengan pak lurah,” katanya.
MP melanjutkan, pembayarannya melalui buku tabungan atas nama pribadi. “Setelah diterima uangnya dimintai lagi Rp1 juta dengan berdalih untuk pembuatan surat menyurat tanah,” katanya.
Dugaan sementara hal yang sama juga terjadi kepada warga lainnya. Ada puluhan hektar tanah masyarakat Desa Tanjung Kencono yang pembayaran hingga saat ini tidak di lunasi oleh pihak pembeli. MP berharap agar Kepala desa ataupun pihak yang diberikan kuasa, agar dapat segera melunasi biaya kekurangan penjualan lahan kami, karena pihak pembeli sudah melunasi nya. (Wahyudi).