Lampung Timur (SL)-Syamsul Arifin Kepala Desa Tanjung Qencono, Kecamatan Way Bungur, Lampung Timur akhirnya mengakui keterlibatan dirinya tentang Fee jual beli tanah transkasi Rp13 miliar. Dia mengaku menjual pada pihak perusahaan agar warg mengikuti jejaknya. Terkait tudingan Fee Syamsul masih tertutup.
Samsul juga menceritakan awal terjadinya jual beli tanah tersebut, pertama kali diri yang menjual tanah kepada pihak perusahaan dengan harapan masyarakat juga mengikuti tentang apa yang dia lakukan.
“Pertama saya menjual tanah kepada Niki, dengan harapan masyarakat mau menjual juga tanah kepada pihak perusahaan,”ujarnya didampingi Nasib, Babinsa dan Nyoman Suprapto Babinkamtibmas di Desa Tanjung Qencono, Rabu (20/03).
Setelah dijual, dirinya juga pernah menayangkan kekurangan pembayaran yang kurang kepada Niki, tetapi Niki masih sakit di Jakarta. “Iya saya pernah sampai kepada pak Niki, tetapi bapak Niki masih dalam pemulihan kesehatan karena baru-baru ini saya mendapatkan kabar kaki nya sedang diamputasi,” katanya.
Terkait sejauh mana keterlibatan dirinya, dia tidak bisa menjelaskan lebih jauh, karena beralasan ada yang perlu dikatakan dan ada juga yang dirahasiakan. “Tentunya saya tidak bisa menjelaskan lebih jauh hal ini, karena ada yang sifatnya rahasia dan ada juga bisa disampaikan, Nanti saja setelah dia sembuh kita sama-sama akan menanyakan kepada dia, tentang bagaimana kekurangan pembayaran tersebut,” janjinya.
Saymsul Arifin juga mengetahui pembayaran melalui buku rekening yang kurang, dan dia juga merasakan ditipu oleh kaki tangan perusahaan, Niki Eryanto. “Hal ini bukan hanya masyarakat, malah sayapun yang merasakan ditipu oleh pihak pembeli,” dalihnya.
Berita sebelumnya, Kamis (14/03) Kasus penggelapan fee jual beli lahan Rp13 miliar di Desa Tanjung Qencono, Kecamatan Way Bungur, Lampung Timur, yang rencananya akan di bangun Perusahaan Industri tapioka milik BW, warga asal Kabupaten Surabaya, Jawa Timur, dengan kuasa untuk pembebasan kepada Niki Eriyanto, warga Desa Tambah Subur, Kecamatan Way Bungur, menuai persoalan baru, Kamis (14/03/2019).
Pasalnya, puluhan hektare lahan itu di beli itu terjadi banyak pelanggaran kesepakatan. Awalnya, pemilik lahan seluas 5000 m3, atau atau setengah hektar, janji akan dibayar senilai seratus juta bagian daratan, sedangkan lahan yang bagian Rawa diberi harga bervariasi.
“Dulu kesepakatannya perseperempat dibayar seratus juta itu yang di daratan, dan punya saya ada dua perempat, jadi seharusnya dua ratus juta, tapi ini kok cuma di transfer Rp150 juta, berarti masih kurang 50 juta lagi,” katanya MP, pemilik lahan.
“Saya sudah berupaya untuk meminta kekurangan itu. Namun mereka saling lempar, saya tanya dengan pak lurah Samsul Arifin, pak lurah menyarankan ke tempat pak Niki, giliran saya kerumah pak Niki, pak Niki suruh tanya dengan pak lurah,” katanya.
MP melanjutkan, pembayarannya melalui buku tabungan atas nama pribadi. “Setelah diterima uangnya dimintai lagi Rp1 juta dengan berdalih untuk pembuatan surat menyurat tanah,” katanya.
Dugaan sementara hal yang sama juga terjadi kepada warga lainnya. Ada puluhan hektar tanah masyarakat Desa Tanjung Kencono yang pembayaran hingga saat ini tidak di lunasi oleh pihak pembeli. MP berharap agar Kepala desa ataupun pihak yang diberikan kuasa, agar dapat segera melunasi biaya kekurangan penjualan lahan kami, karena pihak pembeli sudah melunasi nya.(rls/Wahyudi)