Bandarlampung (SL) – Sudah beberapa kali Gunung Anak Krakatau mengalami erupsi. Namun erupsi yang paling berimbas adalah pada 22 Desember 2018 lalu. Sejak tengah malam tadi hingga pagi hari, tercatat sebanyak 13 letusan terjadi di Gunung Anak Krakatau dengan durasi yang berbeda-beda.
Informasi dari situs resmi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) tertulis bahwa letusan tersebut terjadi dalam kurun waktu pukul 00.00-06.00 WIB. Dengan tremor menerus (microtremor) terekam dengan amplitudo 2-21 mm (dominan 6 mm). Suhu udara di sekitar Gunung Anak Krakatau sekitar 25-26 °C dengan kelembaban udara 91-94%.
“Gunung jelas. Asap kawah bertekanan sedang teramati berwarna putih dengan intensitas tebal dan tinggi 1000 m di atas puncak kawah. Tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau level III (siaga). Oleh karena itu, masyarakat dan wisatawan tidak diperbolehkan mendekati kawah dalam radius 5 km dari kawah,” tulisnya Jumat (4/1/2019).
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan beberapa waktu lalu diberbagai media bahwa retakan ini berpotensi untuk menjadi longsor jika ada tremor atau getaran saat erupsi. Meskipun luas arenanya relatif kecil.
“Berpotensi untuk berkembang menjadi longsor atau runtuhan bawah laut bila terjadi tremor saat erupsi nantinya. Karena luas area dan volums yang akan longsor relatif kecil, maka diperkirakan potensi tsunami yang ditimbulkan juga lebih kecil,” jelas Dwikorita.
Sementara itu, Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal) menemukan adanya perubahan kontur kedalaman 20 sampai 40 meter lebih dangkal pasca erupsi Anak Krakatau kemarin.
Menurut Kapushidrosal Laksda TNI Harjo Susmoro saat dikonfirmasi laman merdeka.com mengatakan, pendangkalan disebabkan tumpahan magma dan material longsoran Gunung Anak Krakatau yang jatuh ke laut.
Penemuan ini juga diperkuat dengan pengamatan visual radar dan analisis dari citra ditemukan perubahan morfologi bentuk Anak Gunung Krakatau pada sisi sebelah barat seluas 401.000 meter persegi atau lebih kurang sepertiga bagian lereng sudah hilang dan menjadi cekungan kawah menyerupai teluk.
“Pada cekungan kawah ini masih dijumpai semburan magma gunung anak Krakatau yang berasal dari bawah air laut,” ujar Harjo. (Inilahonline)