Oleh : Ardiansyah*
Beragam upaya dilakukan dalam hal meraih kemenangan pada tiap-tiap pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia. Mulai dari meraih simpati pemilih dengan strategi politik yang elegan, hingga pergerakan massif yang melanggar undang-undang kepemiluan, pun dilabrak.
Diyakini, strategi pemenangan dalam aktifitas politik praktis sangat akrab dengan praktik politik uang (money politik). Langkah tersebut diambil oknum tertentu karena dianggap hal yang paling efektif untuk meraup suara pemilih dengan instan. Pada praktik di lapangan, banyak sekali ditemukan contoh kasus jika politik uang memainkan peran yang samgat ampuh untuk meraup pundi-pundi suara pemilih. Umumnya, strategi tersebut dilakukan oknum caleg dan tim suksesnya dengan menyusupkan praktik politik uang di pelosok desa yang jauh dari jangkauan pengawasan penyelenggara Pemilu.
Terkait fenomena politik tersebut, baru-baru ini ramai diberitakan oleh berbagai media massa, baik cetak, elektronik, maupun media siber, telah tertangkap dua orang oknum karyawan salah satu toko kosmetik yang berada di Kecamatan Bukit Kemuning, Kabupaten Lampung Utara, disebabkan mengelabui pemilik toko tempatnya bekerja dengan menukar sejumlah uang Rp.2.000.000,- hasil tagihan setoran dari konsumen toko tersebut dengan uang palsu (upal) pecahan Rp.50.000,- senilai uang setoran dimaksud.
Pecahan uang palsu Rp.50.000,- dalam kaitannya dengan kasus dimaksud tentu tidak sedikit jumlahnya. Namun, yang patut menjadi pertanyaan, darimanakah asal uang palsu tersebut didapatkan oleh kedua oknum karyawan toko kosmetik itu?
Mengingat pelaksanaan Pemilihan Umum 2019 sudah diambang pintu, baik itu untuk perebutan kursi legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden, harus diwaspadai, ada korelasi yang kuat jika sindikat uang palsu yang ada di Kec. Bukit Kemuning tidak terbongkar oleh aparatur penegak hukum, bukan tidak mungkin Kabupaten Lampung Utara akan bertabur uang palsu pada pelaksanaan Pemilu 2019 mendatang. Bisa jadi akan menjadi lahan subur oknum caleg maupun tim sukses tertentu untuk memainkan praktik politik uang palsu.
Perlu ada pencegahan serta deteksi dini dengan mengubah mindset masyarakat. Pengawasan Pemilu 2019 agar berjalan adil dan bermartabat mutlak melibatkan masyarakat di setiap tingkatan sebagai subjek pengawasan dalam tahapan Pemilu.
Praktik politik uang sangat mungkin dilaksanakan memasuki tahapan kampanye. Ketidak-awasan penyelenggara Pemilu dan jajaran, dalam hal mengawasi, mendeteksi, serta mencegah pelanggaran Pidana Pemilu, tentu berimplikasi pada ketidaksuksesan penyelenggarannya. Itu berarti, Pemilu bukanlah pesta demokrasi yang adil dan bermartabat. Melainkan, ajang transaksi kursi keterwakilan serta pembodohan hak-hak politik masyarakat secara menyeluruh.
Dan yang lebih fatal adalah kemungkinan diterapkannya strategi politik uang palsu dalam masa kampanye yang berlangsung dengan tenggat waktu yang panjang.
Untuk diketahui, adapun landasan hukum dan peraturan terkait Kampanye Pemilu 2019, yakni UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu; PKPU nomor 32 tahun 2018 tentang Perubahan PKPU nomor 7 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2019; PKPU nomor 23, 28, dan 33 tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu 2019; serta Perbawaslu nomor 28 tentang Pengawasan Kampanye Pemilu 2019.
Dalam pandangan ini, penulis mengimbau agar masyarakat secara umum juga turut berperan serta sebagai ‘penyelenggara Pemilu’ dalam hal pengawasan, pendeteksian, dan pencegahan pelanggaraan yang dapat terjerat pidana pemilu.
* Penulis adalah wartawan media siber Sinar Lampung.