Oleh : Jacob Ereste
Akibat dari politik kita yang abai terhadap etika, ujungnya telah menggerus moral yang harus selalu berada dalam bingkai Pancasila.Keculasan dari sikap berbohong, ingkar janji, khianat rakyat, bahkan munafik, sungguh sulit dicari rumusnya dalam Pancasila. Agaknya itulah yang membuat pemerintah gundah hingga panik untuk segera mengadakan lembaga seperti BPIP (Pembina Ideologi Pancasila).
Kepanikan pemerintah jelas tampak dari nilai insentif atau honoraria yang lumayan besar diberikan kepada mereka yang dinobatkan jadi pembinanya. Belum pula sempat dievaluasi agak serius, Dr. Yudhi Latif sebagai “kapten” yang ditunjuk Presiden — belum apa-apa — langsung nyerah, mengundurkan diri akibat kegaduhan yang terus meruyak.Padahal lembaga Badan Pembina Ideologi Pancasila itu memang masih harus dan patut disingkronkan dengan apa yang telah dirancang oleh MPR RI dengan “Proyek Empar Pilarnya”.
“Proyek Empat Pilar MPR RI” itu awalnya merinci salah satu pilar berbangsa dan bernegara kits adakah Pancasila. Akibat dari terkilirnya rumusan itu, konsep dan program MPR RI itu pun riuh menuai protes. Setidaknya saya sendiri sudah lebih dari enam kali menurunkan ulasan yang keberatan pada rumusan MPR RI itu yang menggradasi Pancasila sebagai pilar. Karena dalam pemahaman ilmu teknik bangunan, pilar itu tidak sama dengan fondasi sebagai alas utama yang menjadi dasar untuk tegaknya tiang-tiang atau pilar dari4 konstruksi yang menopangnya.
Jadi pemahaman pada Pancasila itu sebagai fundamen dari cara berpikir bangsa Indonesia sudah pas dan sangat tepat.Hikmahnya memang dari pemahaman rumusan MOR RI sempat terkilir itu tadi, bisa segera disadari betapa perlunya serta pentingnya pada pemahaman arti dan makna dari Pancasila itu sebagai landasan berpikir, falsafah hidup serta pandangan bagi segenap warga bangsa Indonesia untuk merujuk, mengacu atau membandingkan apakah prilaku, adat istiadat hingga budaya yang menyertai segenap sikap dan perbuarannya tidak keluar dari bingkai Pancasila yang lebih rinci dan teknis bisa metujuk pada UUD 1945.Sebagai manusia yang percaya pada tuntunan agama, bangsa
Indonesia jelas bisa berpegang pada sila pertama dari Pancasila.Begitu juga dengan kemanusiaan yang adil (jujur) dan beradab (menghargai nilai-nilai budaya suku bangsa Indonesia) yang adi luhung, tinggi dengan sadar bersandar pada tradisi serta tuntunan serta ajaran agama yang diturunkan dari langit.
Hingga pada akhirnya harus dimuarakan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali. Artinya bisa segera dipiham bahwa kesejahteraan yang berkeadilan pasti tercapai bila persatuan kita sebagai warga bangsa yang beragam suku bangsa dan agama menyatu dalam hati dan ruh seperti keteguhan dari garuda yang mengepakkan sayapnya untuk merengkuh dunia.Dalam perspektif agama, jelaslah konsep itu yang tersurat maupun tersirat dari pemahaman kita pada rachmatan lil alamin. Begitu pula dalam perspektif yang bersifat illahiah lain, yaitu cinta dan kasih.
Artinya, bagaimana mungkin etika dan moral bisa begitu kropos, sehingga prilaku culas dan degil terus meruyak dengan praktek korup berjamaah, tidak sedikit pun merasa malu mengingkari janji. Berbohong bahkan munafik.Dari jalan sesat inilah sebetulnya kita semua jadi merasa miris pada arti dari Pancasila yang sesungguhnya merupakan falsafah hidup kita yang sedang kehilangan ruh-nya yang sejati. Karena kita abai dari gerusan dan gesekan cara dan pandangan hidup bangsa-bangsa lain, tidak teguh dan tetap berpegang pada pusaka warisan para leluhur, yaitu etika dan moral kita bangsa timur. Silogisnya dari soneta kuno Melayu, jangan pernah percaya matahari dan rembulan itu akan terbit dari Barat, karena sunnatullah sudah tersurat begitu dari langit biru..
Jadi nilai-nilai etika dan moral yang sudah hilang dalam Pancasila yang sudah tersemat di dada kita, jelas karena tergulung dan terlipat dalam kepayang kita yang mabuk oleh penampilan dari kapitalisme yang terkesan semakin keren bergaya model neo-liberalisme. Padahal wajah otentik kita yang sesungguhnya sosialisme religius.
Banten, 2 Agustus 2018
Jacob Ereste
Atlantika Institut Nusantara