Oleh : Uday Suhada
*Direktur Eksekutif Aliansi Independen Peduli Publik-ALIPP
PASCA ditinggal Gubernur Atut Chosiyah yang ditahan KPK atas kasus Suap Pilkada Lebak tahun 2013 dan kasus Korupsi Alat Kesehatan yang juga merembet ke kasus lain, Pemprov Banten kemudian menerapkan system Layanan Pengadaan Secara Elektronik – LPSE dalam proses tender proyek APBD, tahun 2014.
Kasus Atut juga melibatkan perkara Pemerasan terhadap sejumlah Kepala Dinas yang ditengarai untuk biaya operasional Anggota DPD RI (Andika Hazrumi), termasuk kasus TPPU bersama adiknya, Chaeri Wardana alias Wawan itu menjadi catatan untuk memperbaiki kinerja pengelolaan pemerintah dan APBD Banten.
Provinsi Banten kini menerapkan pola LPSE, yang sejatinya mekanisme LPSE diterapkan untuk menjamin transparansi, akuntabel, professional, efisien dan mempermudah semua pihak, terbebas dari unsur-unsur Korupsi Kolusi dan Nepotisme; mengikis pola kuno yang terjadi sepuluh tahun sebelumnya; dimana proyek-proyek APBD dikendalikan oleh Wawan.
Namun yang terjadi sejak 2014 hingga saat ini, justru lahir persoalan lain. Diantaranya Kebijakan yang diterapkan justru sangat membebani para pengusaha, terutama pengusaha kecil dan menengah di Banten. Faktanya pungli tetap berlaku. Broker atau calo proyek yang dalam pengakuan gubernur Wahidin Halim disebut “Pihak Ketiga”. bergentayangan di semua OPD dan Pokja ULP.
Penyusuran sinarlampung.com di Provinsi Banten, jika pada jaman Atut dan Wawan, pengusaha harus mengeluarkan biaya (setoran) di kisaran 25% s/d 30%, namun si pengusaha ada kepastian bahwa ia mendapatkan pekerjaan/proyek. Kini mereka juga tetap harus mengeluarkan biaya di kisaran 1,5% dari nilai proyek yang ditenderkan, tetapi tidak ada jaminan ia akan mendapatkan tender.
Jika mendapatkan tender, pemenang tetap harus mengeluarkan uang sekitar 25% juga. Imbasnya kualitas pembangunan tetap buruk. Pengusaha Banten kini benar-benar berspekulasi untuk mendapatkan tender. Mereka seperti sedang berjudi. Sebab proyek yang nilainya milyaran rupiah sudah menjadi rahasia umum memiliki “Bin”.
Semisal, “Proyek pengadaan Undur-undur senilai 10 milyar Bin Uday” atau “Proyek pengecoran Jalan Tikus di Kuluwut senilai 5 milyar bin Suhada” dan seterusnya. Seorang pengusaha bisa mendapat tender jika memiliki hubungan khusus dengan pihak yang memiliki power tertentu (para oknum). Sejauh ini tidak ada satupun pengusaha kecil dan menengah yang tidak mengamini kondisi tersebut.
Jika diurai, berikut rentetan persoalannya:
1. Proses Persiapan Tender. Pengusaha yang tidak dapat menyiapkan dokumen, maka di Pokja ULP ada yang bisa menyiapkan dokumen tersebut, dengan imbalan kisaran Rp.5 juta.
2. Masih dalam tahap persiapan, pengusaha juga wajib memiliki rekening koran di bank. Nilainya minimal 10% dari nilai proyek yang ditenderkan. Faktanya, hanya segelintir pengusaha saja yang memiliki modal sebesar itu. Maka ada cara yang diduga merupakan bentuk KREDIT FIKTIF. Contohnya, sebuah proyek senilai 6 milyar. Maka seorang pengusaha harus membayar biaya administrasi, provisi 1/2% dan bunga 1,4%, yang diakumulasi sekitar Rp. 39.400.000,-. Setelah terbit, maka sesungguhnya uang 10% dari nilai proyek yang tertera dalam rekening koran bank tersebut adalah fiktif. Selain tidak bisa diambil, masa berlakunya hanya untuk formalitas proses tender (sebulan).
Kita bisa bayangkan, satu proyek saja diperebutkan oleh puluhan perusahaan yang semuanya melakukan hal yang sama, berapa rupiah pengusaha harus keluarkan uang untuk pihak bank (Bank Banten dan BJB) ?
Bayangkan juga dalam setahun dari APBD Banten untuk pembangunan infrastruktur – merujuk pada contoh proyek di atas (6 milyar), jika di angka Rp. 7 trilyun rupiah, maka uang jasa kredit fiktif untuk pihak bank akan mencapai angka Rp.45,5 milyar (0,65%). Jika ada 5 perusahaan saja yang mengikuti tender di masing-masing proyek, maka dalam setahun sekitar Rp.227,5 milyar uang pengusaha terkuras untuk bank.
3. Perusahaan dengan contoh tadi pun harus memiliki sertifikat Tenaga Ahli, S2, S1, SKT. Tentu seperti biasa sudah siap biro jasa penyedia Sertifikat TA. Sertifikat S2 dibandrol 5 juta; Tiga sertifikat S1 bernilai @Rp.3 juta; Empat sertifikat SKT @Rp.1,5 juta. Dijumlah-jambleh menjadi Rp.20 juta. Pemilik Sertifikat itu hanya bertugas untuk datang pada saat Pembuktian Dokumen di Pokja ULP, selebihnya tak ada. Itu belum termasuk biaya untuk mendapatkam Surat Dukungan Bank dan Surat Jaminan Penawaran, sekitar Rp.3 juta (untuk proyek yang nilainya diatas Rp.5 milyar).
4. Jika syarat dokumen sudah terpenuhi, maka penawaran pun disampaikan ke Pokja ULP. Disini babak kedua dilalui. Jika ia mendapatkan “bintang” (pemenang tender), maka koceknya harus dirogoh sebesar 3% dari nilai kontrak.
5. Setelah berkas di Pokja ULP rampung, pengusaha bergeser ke Pejabat Pembuat Komitmen – PPK di Organisasi Perangkat Daerah – OPD / Dinas. Diakui oleh sejumlah informan (pengusaha) bahwa disana mereka merogoh koceknya lagi sebesar 5% dari nilai kontrak.
6. Jika menjadi pemenang tender itu murni tanpa persekongkolan dengan Broker/calo atau Orang Ketiga (meminjam bahasa gubernur Wahidin Halim), maka pengusaha akan leluasa melaksanakan tugasnya. Namun jika tidak, maka ia harus menyobek kantongnya lagi di kisaran 7% untuk Broker/Pihak Ketiga atau si “Bin” itu.
Dalam prakteknya, pengkondisian proyek di dinas/OPD/PPK dikendalikan oleh beberapa pihak yang dominan. Di samping oleh kaki tangan Wawan – yang juga diamini gubernur Wahidin Halim dalam statementnya “Benar masih ada yang datang ke PU. Yang berjalan itu sudah sistematis, melalui orang ketiga” (26/07), ternyata juga terungkap dari para pengusaha bahwa ada pula keluarga gubernur Wahidin Halim yang turut bermain dan mengkondisikan proyek-proyek APBD Banten.
7.Dalam melaksanakan pekerjaan, pengusaha akan mengeluarkan biaya tenaga kerja, sekitar 10%. Kemudian biaya Peralatan 10% (jika harus sewa lagi, maka akan membengkan menjadi 15%).
8.Sebagai pengusaha, tentu ia harus mendapatkan keuntungan, di kisaran 10%.
9.Itu belum termasuk biaya tidak terduga di lapangan. Resiko yang harus dihadapi pengusaha adalah banyaknya “oray kadut” di lapangan yang meminta “japrem”. Berbagai oknum berseliweran sepanjang pelaksanaan proyek.
10.Nah, mari kita hitung prosentase dan segala tetek-bengeknya yang diurai di atas. Maka uang rakyat yang akan riil nempel di lapangan hanya tersisa maksimal 45%. Itu jika tidak disubkon lagi.
Pertanyaannya kemudian,
Dimana kehadiran Penguasa untuk rakyat? carut marut pengelolaan pengadaan barang jasa saat ini adalah fakta. Apa langkah kongkrit Gubernur dan Wakil Gubernur…? Sebab diam saja, berarti mengamini apa yg terjadi.
Dimana posisi aparat penegak hukum berada?
Dimana pula suara para pengusaha yang sebagian besar menjadi korban?
Wallahu’alam bisshawab. Sebab, sementara saya disini, tetap ditepi. (***)
*Disampaikan di Acara Diskusi Panel “Carut Marut Tender Proyek APBD Banten”, Kamis 4 Agustus 2018, bersama Ade Irawan ICW dan H. Ade Muklas Syarif Ketua AJKI Banten di aula hotel Abadi – Serang.