Kalimantan Selatan (SL) – Duka Cita dan rasa sesal masih menggantung di wajah komunitas pers Indonesia. Itu reaksi yang kemudian bermunculan setelah berpulangnya M.Yusuf, wartawan kemajuanrakyat.co. id di Kotabaru, Kalimantan Selatan, Minggu (10/6/18).
Apa penyebab kematian wartawan itu di sel tahanan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Kotabaru? Keterangan polisi sudah dirilis. Tapi, banyak wartawan tetap penasaran. Apakah pria berusia 42 tahun itu memang meninggal karena sakit, seperti kesimpulan sementara polisi. Atau ada sebab lain. Pengacara tenar Prof DR Yusril Ihza Mahendra yang ditanya wartawan ihwal itu, menyarankan sebaiknya segera dilakukan otopsi.
Saran itulah sedang diikhtiarkan Pengacara Nawawi SH, yang mendapat mandat dari istri Yusuf, Tuo Arvaidah untuk menangani kasus ini. “Saya diundang via telepon untuk bertemu dengan Kasat Reskrim AKP Surya Miftah,” kata Nawawi kepada Ceknricek.com, Rabu (13/6).
Dalam pertemuan sekitar 10 menit itu, pihak Polres meminta agar jenazah Yusuf diotopsi. Cara ini akan memudahkan petugas untuk menentukan penyebab kematian Yusuf.
Sepulang dari Polres, Nawawi memberitahu istri Yusuf, Tuo Arvaidah soal rencana otopsi itu. Dan ibu empat anak itu sebenarnya sudah setuju. Dan otopsi pun sudah direncanakan akan dilakukan Kamis (14/6). Namun, belakangan, dia terpaksa menunda dulu langkah itu. “Karena keluarga suami saya, tidak setuju,” ujar wanita asal Bugis itu.
Otopsi akhirnya terpaksa diundur, kata Nawadi, setelah lebaran. Yakni, sekitar tanggal 25 sampai dengan 30 Juni 2018. “Hal ini karena pihak keluarga meminta ada dokter forensik lain yang mendampingi dokter dari kepolisian. Tujuannya agar ada pendapat pendamping supaya obyektif,” jelas Nawawi. Dalam kasus ini, ia dibantu tiga rekannya sesama pengacara. Yakni Erry Setyanegara, Tantri Maulana, dan Tonny Simamora.
Nawawi menyatakan pelaksanaan otopsi tersebut sesuai dengan perintah Kapolda Brigjen Polisi Rachmat Mulyana agar masalah ini bisa dituntaskan secara obyektif.
Nawawi berharap dengan adanya otopsi maka keluarga bisa mendapat kepastian penyebab kepergian Yusuf. “ Berdasar pengakuan keluarga, Yusuf memang memiliki riwayat jantung dan asma,” kata Nawawi, alumni Universitas Pamulang, Tangerang Selatan ini.
Tapi keluarga masih curiga, Yusuf tidak meninggal karena serangan jantung. “Informasi keluarga menyebutkan Yusuf muntah-muntah setelah menerima makanan dari petugas,” imbuh Nawawi.
Pengacara juga sedang mempertimbangkan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Polres, Kejaksaan dan Lapas. Sebab, seperti diceritakan isteri Yusuf, dia sebenarnya sudah meminta izin agar suaminya bisa dibawa ke rumah sakit untuk berobat. Tapi, permintaan itu ditolak. Makanya, Arvaidah meminta pengacaranya menuntut pihak yang menolak permintaan itu. “Namun kami masih mengumpulkan alat bukti terkait gugatan tersebut,” kata Nawawi.
Pangkal Masalah
M. Yusuf, koresponden yang tinggal di Jalan Batu Selira, Desa Hilir Muara, Kecamatan Pulau Laut Utara, Kotabaru, itu berurusan dengan polisi karena pemberitaan. Ia menulis laporan berita di tiga media mengenai konflik antara warga Pulau Laut Tengah dengan PT Multi Agro Sarana Mandiri (MSAM). Bekerjasama dengan PT (persero) Inhutani II, PT MSAM memang berencana memperluas areal pekebunan sawitnya. Perusahan milik Andi Syamsudin Arsyad alias Haji Isam— pengusaha kuat dan berpengaruh di Kalimantan— dengan demikian harus memindahkan penduduk yang sudah bermukim di areal yang dikuasai PT Inhutani itu. Berita Yusuf tajam dan bernada menggugat PT MSAM yang disebutkan mengabaikan ganti rugi yang sudah pernah dijanjikannya.
Kapolres Kotabaru AKBP Suhasto mengatakan, mereka menerima pengaduan dari PT MSAM. Perusahaan itu kesal dengan ulah Yusuf yang berada di pihak masyarakat yang berjuang mendapatkan ganti rugi atas perluasan perkebunan PT MSAM tersebut. Yusuf dituduh mencemarkan nama baik perusahaan dan pemiliknya. Merespon pengaduan itu, polisi pun bertindak. Tapi, untuk itu, mereka berkonsultasi dulu dengan Dewan Pers.
Tim Polresta Kotabaru, di antaranya Kasat Reskrim Surya Miftah Tarigan sudah bertemu dengan Ahli Pers dan mantan anggota Dewan Pers Leo Batubara di Jakarta. Polisi membawa dua berita yang mula-mula diadukan pihak Polres. Leo Batubara mengatakan, kasus itu delik pers.
Tim Polres kemudian datang lagi dan mengajukan 21 tulisan Yusuf yang lain di beberapa media on line. Setelah mempelajari semua tulisan tersebut, Leo Batubara menilai, produk berita Yusuf memang beritikad buruk, melanggar kode etik jurnalistik dan tidak bertujuan untuk kepentingan umum, sesuai fungsi pers. Penilaian Leo itu kemudian dimasukkan dalam Berita Acara polisi. Inilah yang kemudian dipersoalkan komunitas pers. Sebab, Leo Batubara dan Dewan Pers ternyata tidak lebih dulu memangggil pemimpin redaksi media yang memuat berita itu. Padahal, menurut UU Pers 40/1999, sebuah berita yang sudah diterbitkan media adalah tanggung jawab pimpinan dan penanggung jawab media. Bukan tanggung jawab wartawan.
Berbekal penilaian Ahli Dewan Pers, polisi akhirnya menangkap Yusuf di Bandara Banjarmasin ketika Yusuf akan berangkat ke Jakarta, Kamis (5/4). Dalam jumpa pers (6/4), Kapolres Kotabaru AKBP Suhasto menjelaskan Yusuf dianggap melanggar undang-undang ITE. Yusuf pun ditahan. Kasusnya diberkas. Tak sampai dua minggu kasus itu naik ke kejaksaan negeri (P 21). Yusuf pun menjadi tahanan kejaksaan.
Sempat disidangkan sekali, 15 hari dalam tahanan kejaksaan, wartawan yang dinilai teman-teman “suka menentang ketidakadilan” itu, meninggal dunia di Lapas Kotabaru.
Berita kematiannya sontak menyengat komunitas pers. Banyak wartawan menyayangkan sikap Dewan Pers yang membuat pernyataan tanpa klarifikasi dulu kepada media di mana. “Pemrednya kan ada. Kok wartawan yang ditangkap dan ditahan,” kata Halim, wartawan Vonis Tipikor, teman Yusuf di Kotabaru. Suara bernada protes seperti itu bermunculan di beberapa WA Group wartawan. Hampir semua menyesali Dewan Pers yang tidak melindungi wartawan di lapangan.
Pihak Dewan Pers akhirnya mengeluarkan keterangan pers, Senin (11/6) untuk menjelaskan duduk persoalan kasus ini.
Keterangan pers yang ditandatangani Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo itu menjelaskan hasil penilaian terhadap dua berita yang dilaporkan dalam pertemuan pada 29 Maret 2018 dan 21 berita yang dilaporkan dalam pertemuan 2-3 April 2018. Ahli Pers dari Dewan Pers menilai:
Pertama, berita-berita tersebut, secara umum tidak memenuhi standar teknis maupun Etik Jurnalistik karena tidak uji informasi, tidak berimbang dan sebagian besar mengandung opini menghakimi.
Kedua, rangkaian pemberitaan yang berulang-ulang dengan muatan yang mengandung opini menghakimi tanpa uji informasi dan keberimbangan mengindikasikan adanya itikad buruk.
Ketiga, pemberitaan berulang yang hanya menyuarakan kepentingan salah satu pihak, mengindikasikan berita tersebut tidak bertujuan untuk kepentingan umum dan tidak sesuai dengan fungsi dan peranan pers sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 3 dan Pasal 6 Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers.
Keempat, pihak yang dirugikan oleh rangkaian pemberitaan tersebut dapat menempuh jalur hukum dengan menggunakan UU lain di luar UU No 40/1999 tentang Pers.
Penjelasan Leo Batubara
Ketika dihubungi Ceknricek.com, Leo Batubara mengakui telah membaca berita-berita hasil karya M Yusuf.
“Sebagai ahli pers yang ditugasi saya jawab dua berita itu menghakimi karena tanpa narasumber yang jelas dan kredibel, juga tanpa uji informasi,” katanya.
Namun terhadap dua berita itu, Leo menilai masih berkategori perkara pers dan harus diselesaikan di Dewan Pers. “Sanksinya hak jawab dan minta maaf. Penyelesaiannya bukan di jalur hukum,” katanya menjelaskan.
Kemudian, penyidik datang lagi dan menyerahkan 21 judul berita tambahan karya Yusuf yang dimuat di dua media. Lalu Dewan Pers menyampaikan penilaiannya seperti dimuat dalam keterangan pers tersebut.
Di luar soal berita, polisi pun menyampaikan informasi lain. “Polisi menyatakan M Yusuf juga penggerak demo. Dewan Pers berkesimpulan itu bukan pekerjaan wartawan?” kata Leo.
Penyidik juga bilang Yusuf menyiarkan beritanya di medsos. “Itu semua bukan domain Dewan Pers, tapi domain penegak hukum,” kata Leo kembali.
Dengan demikian, proses hukum terkait hal-hal di luar kerja jurnalistik sepenuhnya wewenang penegak hukum.
Kasus Serupa
Zainal Hilmie, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Selatan mengaku tidak mengenal secara pribadi M. Yusuf. “Beliau juga bukan anggota PWI. Tapi kami telah menyatakan sikap agar kasus ini diusut hingga tuntas,” katanya kepada Ceknricek.com.
Menurut Hilmie, kasus yang menimpa Yusuf juga pernah menimpa wartawan lain dari Obor Keadilan Maret 2018. Kasusnya juga melibatkan PT MSAM. “Wartawan juga dilaporkan, tapi kasusnya selesai begitu saja,” katanya.
Sementara itu, Tuo Arvaidah, istri Yusuf menyatakan tetap berharap kasus kematian suaminya diselesaikan dengsn seadil-adilnya. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada pengacara soal proses hukumnya.
Pelaksana Tugas PWI Pusat Sasongko Tejo tatkala merespon suara protes sejumlah ketua PWI Provinsi menyatakan, PWI Pusat akan membentuk Tim Pencari Fakta untuk bantu mengusut kematian wartawan M. Yusuf, meski wartawan tersebut bukan anggota PWI. “Kita akan bentuk Tim itu nanti setelah lebaran,” tukas Sasongko.
Bagi Arvaidah, menuntut keadilan suaminya adalah seuatua yang harus dilakukan. Kendati sang suami sudah meninggal dia dan anak-anaknya. Dia mengatakan masih terpukul dan berduka. Bagaimanapun Yusuf adalah tulang punggung keluarga. “Suami saya tidak punya gaji tetap. Dia sangat berarti buat keluarga,” kata wanita berusia 38 tahun itu. (Ceknricek.com)