Oleh : Nizwar Affandi
DUA MALAM Yang lalu sebelum tidur saya membaca pesan-pesan yg masuk ke dalam gawai selama tiga jam terakhir. Seperti biasa 2/3 pesan yg masuk adalah broadcast berulang dari teman-teman yg menjadi tim atau sekedar simpatisan paslon Pilgub Lampung 2018.
Dari ratusan pesan, hanya satu yg menarik perhatian saya, pesan berisi file rekaman suara sambutan calon petahana di sebuah kegiatan buka puasa bersama. Tidak panjang isinya tetapi penuh kejutan, kejutan pertama tentu materinya dan yg kedua cara menyampaikannya.
Di bagian akhir orasinya M. Ridho Ficardo (MRF) bicara tentang “kedaulatan pembangunan bukan di tangan mata sipit” dan meminta audien merekam kemudian meng-upload pernyataannya itu ke situs YouTube.
Bagi saya orasi itu full of surprise, saya kaget mendengar MRF bicara tentang mata sipit karena saya sedikit mengetahui riwayat hubungan dirinya dgn mereka yg (mungkin) ia maksud sebagai golongan mata sipit. Saya juga kaget karena MRF yang saya kenal lebih dari satu dasawarsa seingat saya bukanlah tipe orang yg konfrontatif (siap berkonflik secara terbuka), ia selalu menggunakan cara lain dan orang lain ketika menghadapi lawan. Bisa jadi benar kata sebuah adagium populer, bahwa kekuasaan bisa mengubah seseorang.
Sependek ingatan saya baik dari cerita yg pernah saya dengar maupun saya saksikan selama kami dulu bersahabat (bisa juga dibaca di riwayat hidupnya), MRF lahir dan melalui masa kecilnya di areal industri gula dan perkebunan tebu.
Pun ketika saya mengenalnya setelah dewasa, ia masih menjadi bagian tidak terpisahkan dari lingkungan itu, bahkan sampai tiga tahun yg lalu ketika ia sudah menjadi Gubernur Lampung. Seingat saya, dulu sejak tahun 2005/2006 ia menjadi direktur utama PT Mulia Kasih Sejati (MKS), sebuah perusahaan yg menjadi pemegang HGU ex Register 47, perusahaan yg terafiliasi dgn Sugar Group Compannies (SGC) di mana Bapak beliau menjadi salah satu direksi di sana.
Jikalau “mata sipit” yang dimaksud MRF dalam orasi itu konotasinya pada masyarakat etnis Tionghoa, maka dapat kita fahami bahwa hampir sepanjang hidupnya M. Ridho Ficardo selalu berada dalam lingkungan mata sipit dan menjadi bagian yg tidak terpisahkan dari lingkungan itu.
Khusus terkait posisi MRF di MKS, teman-teman DPRD Provinsi Lampung periode 2004-2009 yg pernah menjadi anggota Pansus Register 47 tentu masih mengingatnya, karena pernah beberapa kali bertemu dalam RDP. Yandri Nazir dari Fraksi Demokrat yang pernah menjadi Ketua Pansusnya tentu bisa bercerita lebih banyak.
HGU ex Register 47 setahu saya adalah HGU pertama yg dimiliki oleh SGC setelah beralih kepemilikan dari Salim Group melalui BPPN. HGU areal lainnya hanya tinggal meneruskan kepemilikan Salim yg sudah berlangsung sejak tahun 70, 80 sampai 90-an.
Front Lampung Menggugat mestinya tidak sulit menggali informasi tentang ini karena salah satu penggagasnya (Hermawan) merupakan pengurus Partai Demokrat. Begitu juga dgn Pansus SGC DPRD Tuba, Ketua Pansus (Novi Marjani) tentu tidaklah sulit bertanya kepada calon Gubernur. (***)
*Nizwar Affandi
(Alumni FISIP Unila dan FISIP UI)