Oleh : Ardiansyah, Wartawan Sinar Lampung.
Berbagai gejolak sosial terjadi di Kabupaten Lampung Utara dengan banyaknya aksi unjuk rasa yang dilakukan masyarakat setempat sejak pertengahan tahun 2017 hingga awal 2018.
Gelombang aksi unjuk rasa silih berganti mengritisi kebijakan pemerintah, mulai dari keterlambatan pembayaran dana kontraktor, yang dimotori K2LUB, juga berbagai tunggakan pembayaran operasional aparatur perangkat desa melalui ADD 2017 yang hingga saat ini masih terkatung-katung, serta berbagai tunggakan lainnya yang berdampak secara langsung dalam tatanan sosial masyarakat, seperti tunggakan BPJS, tunjangan BK bagi ASN, honorarium pekerja honorer, dan sebagainya.
Dan yang paling kontroversial terkait dengan kematian Yogi Andhika, salah seorang sopir pribadi Bupati Agung Ilmu Mangkunegara (AIM). Berdasarkan informasi yang diperoleh, sebelum sopir pribadi orang nomor satu di Lampung Utara ini menghembuskan nafas terakhirnya, dirinya sempat mengalami penganiayaan dari orang-orang dekat Bupati AIM. Teka-teki kematian Yogi Andhika menjadi buruan publik. Berbagai spekulasi menyeruak.
Terkait hal ini, tragedi yang menimpa Yogi Andhika laksana bom waktu yang akan meledak dan mencoreng nama baik AIM, meruntuhkan harga diri loyalis sekelilingnya, bahkan sangat berpotensi merusak tatanan sosial kemasyarakatan.
Paparan di atas menggambarkan bagaimana pemerintahan di era-AIM terkesan tidak tertata dengan sistematis. Administrasi keuangan daerah hanya sejumlah catatan dan angka-angka yang belum dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dihadapan publik.
Belum lagi tatakelola pemerintahan yang juga seakan begitu eksklusif dan antikritik. Sehingga, keterbukaan informasi yang dibutuhkan masyarakat menjadi samar-samar bahkan ‘tersamarkan’. Birokrasi menjadi kawasan yang penuh rambu dan mengakibatkan Lampung Utara ibarat sebuah lukisan mosaik.
Indah. Namun, terbuat dari serpihan kaca.
Di era Kekaisaran Jepang kuno, periode 1190-1876, ada suatu tradisi unik para ksatria samurai dalam menjaga harkat dan martabat, kedisiplinan, serta menjunjung tinggi kehormatan Kaisar yang dikenal dengan Seppuku dan/atau Hara-Kiri.
Alkisah, medio 1868, sejumlah serdadu Jepang dari Bizen menyerang perkampungan orang asing di Kobe. Dalam penyerangan tersebut terjadi suatu kesalahan fatal yang mengakibatkan Taki-Zenzaburo, seorang anak buah dari Putra Mahkota Bizen yang telah mengeluarkan perintah untuk menyerang perkampungan asing. Taki-Zenzaburo harus menghadapi tradisi Seppuku. Mata pedang Samurai yang trengginas mengakhiri hidupnya. Namun, harga diri dan kehormatan Istana tetap terjaga sepanjang masa.
Sekelumit kisah haru tersebut menyiratkan bahwa kehormatan dan harga diri merupakan hal yang begitu mulia. Hingga kesalahan sekecil apapun jika menyangkut nama baik, harkat dan martabat, serta kehormatan negara patut dituntaskan dengan Hara-Kiri.
* Penulis adalah wartawan portal media on-line Sinar Lampung