Bandar Lampung (SL)-Kegetiran yang dirasa keluarga almarhum Yogi Andhika begitu memukul harkat dan martabat kemanusiaan mereka. Trauma mendalam masih melekat dengan kuat dalam ingatan mereka yang mengaku dirundung ketakukan melawan penguasa.
Li, di kediamannya menceritakan, Yogi dibuang di pinggir jalan bagai barang tak berguna, bahkan merasa diperlakukan bukan manusia. “Tidak berperikemanusiaan. Mereka membuang Yogi Andhika seolah tidak memiliki sanak keluarga. Bagai sampah yang menjijikkan. Di pinggir jalan, tengah malam, dalam kondisi tubuh antara hidup dan mati. Sungguh perbuatan biadab dan tidak berperasaan,” ucap Li, tanpa sadar emosi dengan nada yang geram.
Dan saat itu Yogi tak sadarkan diri, tergeletak hingga pagi menjelang. Entah kekuatan dari mana paginya, Medio 21 Mei 2017 silam, Yogi siuman dan terbangun. Dengan sisa tenaga yang ada Yogi berusaha melihat wilayah sekitar dan menyadari jika tempat tersebut tidak asing baginya. Ia berusaha bangkit, meskipun sempat merangkak.
Secara tiba-tiba, melintas seorang tukang ojek dan berhenti hendak dan memberi pertolongan. “Terbata-bata, Yogi pun lantas menyebutkan alamat rumah kepada ojek budiman itu,” tutur Li.
Tukang ojek itu mengantar Yogi ketumah orang tuanya. Sontak suasana rumah gaduh, sang ibunda Fh, panik terisak dan gelisah. Yogi tiba dirumah dengan rubuh babak belur, dan sempat muntah muntah dan mengeluarkan lendir hitam, dengan aroma busuk.
“Yogi sempat mengeluarkan muntah dengan warna menghitam dan busuk seperti bangkai,” ujar FH, Ibu Yogi.
Keluarga lantas membawa Yogi ke Rumah Sakit Abdoel Moeloek Bandarlampung dengan segala keterbatasan yang ada. Selama tiga hari dalam perawatan di rumah sakit banyak hal yang diceritakan almarhum Yogi kepada keluarga.
“Namun, karena keterbatasan biaya, kami hanya mampu merawat almarhum selama tiga hari. Kemudian, kami sekeluarga memutuskan untuk merawat Yogi di rumah,” tutur FH.
Selama dirumah, Yogi dirawat dengan pengobatan alakadarnya, dan kondisi Yogi yang luka dalam itu tidak juga membaik. Lalu keluarga pun sepakat untum membawa Yogi untuk dirawat kembali selama dua hari di rumah sakit. “Kami sempat memberi kabar ke pihak majikan tentang kondisi Yogi, namun tidak ada tanggapan. Bantuan berupa santunan pun tidak diberikan. Itulah yang membuat kami patah hati,” tutur FH.
Hingga akhirnya, pada 15 Juli 2017, Yogi Andhika menghembuskan nafas terakhirnya. Yogi berpulang kembali kehadapan illahi. Suasana duka keluarga tetutama ibunda yang banyak nengantungkan hidup dengan Yogi.
Ironisnya, meski Yogi pernah mengabdi lama sebagai sopir pribadi majikan orang penting di Lampung Utara itu, tak satupun keluarga, dan kerabat majikan itu berbelasungkawa. Ucapan duka apalagi karangan bunga itu tak ada dari orang yang katanya nomor wahid itu.
“Di hari duka itu, tidak ada satupun utusan dari ‘Tokoh Wahid’ yang datang untuk melayat ataupun mengantarkan Yogi ke tempat peristirahatan. Jangankan santunan, karangan bunga saja tidak ada. Yogi Andhika dianggap merek yang tidak pernah ada,” ujar Li kepada sinarlampung.
Setelah berbagai upaya dan kesabaran menunggu itikad baik dari pihak majikan yang juga merupakan ‘Tokoh Wahid’ di Lampura tak kunjung tiba, pada tanggal 20 Maret 2018 bersama Kuasa Hukum Riza Hamim, SH dan Rekan, keluarga almarhum Yogi Andhika memberanikan diri untuk melapor pada pihak yang berwajib. (Bersambung)