Bandarlampung (SL)-Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) di Provinsi Lampung, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Barat turun. Untuk Lampung dan NTB, index penurunan pada aspek ekonomi, sementara khusus Sumatera Utara penurunan tertinggi di aspek hukum.
Sementara, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) pemilik IKP tertinggi dengan 81,55 (baik/cukup bebas) diikuti Sumsel 79,44 (baik/cukup bebas), dan Kalimantan Barat dengan 77,46 (baik/cukup bebas). Terendah adalah Sumatera Utara dengan IKP 57,63 (sedang/agak bebas).
Secara nasional IKP tahun 2017 naik menjadi 67,92 dibandingkan tahun lalu 63,44. Dengan skor ini kemerdekaan pers Indonesia mendekati bebas. Kenaikan IKP ini terjadi di aspek politik, ekonomi, dan hukum. IKP muncul setelah penelitian selama tujuh bulan dan dibahas dalam forum bersama Dewan Penyelia Nasional yang menghadirkan peneliti, informan ahli dari 30 provinsi.
Indeks ini merupakan rerata dari IKP di 30 provinsi. Empat provinsi yang tidak dihitung IKP-nya adalah Bangka Belitung, Kalimantan Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat.
Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, meminta agar kebebasan ini tidak disalahgunakan. Hanya di Indonesia ada media dan wartawan abal-abal. “Untuk menahan bermunculannya media abal-abal sebagai indikasi dari kemerdekaan pers, ada verifikasi terhadap perusahaan pers dan uji kompetensi wartawan,” kata Stanley.
Menurut Stanley, harus ada pemisahan dan ruang redaksi harus disterilkan dari pengaruh politik, termasuk dari pemilik. Silakan pemilik mempunyai partai, tetapi ruang redaksi biarkan independen.
Salah satu informan ahli IKP 2017, Yoso Muliawan mengatakan media-media di Lampung bergantung pada pemerintah daerah sehingga iklan-iklan umumnya dari pemda. “Akibatnya berita jadi rentan dikontrol dan dicampuri pemda. Jika mengkritisi, ada ancaman pemutusan iklan,” katanya.
Ketua Dewan Kehormatan PWI Lampung, Iskandar Zulkarnain, mengatakan turunnya indeks kemerdekaan pers di Lampung karena stakeholder tak bisa lagi membedakan mana yang pemberitaan yang mengeritik untuk kepentingan publik, dan mana yang tidak, sehingga antikriktik. Padahal fungsi pers itu salah satunya, sebagai kontrol sosial.
Menurt Iskandar, jika pemerintahan dan swasta tidak mau dikrontrol. Itu tak elok dalam berdemokrasi. Dan kalau pers tidak lagi mampu mengontrol pemerintahan, maka demokrasi akan mati. “Pemangku kepentingan harus bisa mendewasakan diri, jangan membuat stigma bahwa pers hanya mencari-cari kesalahan, apalagi saat ini zaman sudah terbuka dan penuh kecepatan dan keakuratan, sehingga semua pihak baik pemerintahan dan swasta harus bisa menerima kritikan untuk kepentingan publik,” jelas Iskandar, yang juga pemimpin redaksi Lampung Post.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung Padli Ramdan sangat prihatin dengan turunnya indeks kemerdekaan pers, “Padahal Lampung itu sangat dinamis,” katanya. (lp/nt/Jun).