HATI BAGI ROHINGNYA (Pak Presiden…)

HATI BAGI ROHINGNYA (Pak Presiden…)

Juniardi

 

Gunawan Parikesit.

**Gunawan Parikesit, SH

Miris tentang Rohingnya, suara kawan bernama Didok, yang sejak beberapa hari ini senyap ditelinga tiba-tiba menukik genderang pendengaranku.

“Habis, tamat sudah batas nalar yang selama iniw kuberi nama toleransi. iblis sedang menang,” ujarnya tanpa pemahaman yang belum kumengerti.

Sambil bergetar suaranya berteriak. apa salah saudara-saudara kita muslim rohingnya, bukankah mereka sudah hidup dan beranak pinak berabad lamanya disana. Ini tidak adil, kenapa iblis menang!!!

Masih dengan semangat Didok menyeringai: Tidak bisa dibiarkan. Sekarang juga kibarkan bendera perang. Tidak berdosa kita melawan dan kembali memberangus mereka. Tuhan pasti meridhoi langkah yang mengarah kepada perlawanan. Kirim saya kesana, kirim saya kesana… Saya ingin menjadi SYUHADA…

Sampai kalimat ini saya tak sengaja menghentikan frekwensi getar dari pita suaranya yang mulai parau. Kawan, ujarku, berilah do’a tulusmu untuk mereka. Alirkan butiran airmata dari hati yang paling dalam, tengadahkanlah tangan dan memintalah pada Tuhan agar para malaikat diturunkan sang khalik untuk menentramkan saudara-saudara kita yang ada disana.

“Ragamu saja tak kan bisa menghentikan itu semua. Amarahmu justru akan semakin membuat situasi tak bardaya ini berkepanjangan. Hanya do’a yang saat ini bisa kamu lakukan. Karena sebenarnya do’a mu itu juga akan menenangkan amarahmu, dan butiran aimata yang keluar bersama do’amu itu juga yang akan membuat engkau berarti bagi mereka”, nasihatku membuat didok terdiam sejenak. Kemudian tangisnya terdengar sesaat kemudian.

Setelah tangis itu, adalah detik-detik yang membuatku berdebar dan menggiring fikirlu nyaris tak berdaya.

“Ya ALLAH, berilah kekuatan kepada presiden pemimpinku untuk berada pada barisan hambamu sebagai rakyatnya. Bukakanlah pintu hatinya dengan melakukan langkah-langkah mendesak malapetaka ini bisa dihentikan, dan jadikan ia untuk tidak berada pada bagian mereka dengan tidak melakukan tindakan tegas apa-apa. Ya ALLAH, mohoooon jadikan presiden, pemimpin dimana aku berada di Negara Indonesia ini sebagai pemimpin yang tidak cuma berbasa-basi dengan hanya melakukan kecaman dan kalimat belasungkawa saja,” rintihan do’a Didok membuat bathinku lunglai.

Usai lantunan do’a, dengan nada lembut Didok menyampaikan kata terakhirnya dipengeras suara telepon genggam yang kupegang dengan tangan bergetar.

Sudah kulafaskan do’a untuk meredam amarah ini, ujarnya, dan telah kutitipkan amarahku dalam do’a agar ALLAH membukakan pintu hati pemimpin kita, presiden kita, untuk bersikap, untuk bertindak, untuk tidak berpura-pura, untuk menghilangkan MYANMAR dari peradaban Bangsa INDONESIA saat ini…

Jika tidak, lanjutnya, berarti Tuhanpun tidak akan marah kalau aku tidak akan menganggapnya sebagai pemimpinku, tidak menganggapnya sebagai presidenku, bahkan tidak akan menganggapnya sebagai sama seperti ku (Didok menyebutnya sebagai manusia).

Didoooook… hardikku, setelah mendengar prakata dan penjelasan terakhirnya. “Beranikah engkau pertanggungjawaban bahasa dan pemikiranmu ini dihadapan negara? tanyaku.

Tuut tuut.. ternyata telpon sudah diputus, sebelum aku mendapat jawaban dari pertanyaan yang mungkin sama dengan pertanyaan khalayak lainnya. Tabik puun. **

Penulis Dewan Redaksi sinarlampung.com

HATI BAGI ROHINGNYA (Pak Presiden…) | Sinar Lampung News | Sinar Lampung News