Lampung Utara, sinarlampung.co-Lima ekor sapi bantuan program aspirasi DPR RI di Kecamatan Tanjungraja, Lampung Utara, dikabarkan dijual oleh kelompok penerima. Kelompok berdalih, atasa penjelasan dokter hewan sapi-sapi tersebut mengalami gangguan reproduksi atau majer. Namun pihak dokter hewan membantah hal tersebut, dan tidak pernah memberiakn keterangan itu.
Ketua kelompok penerima, Kemis, membantah tudingan bahwa sapi bantuan dijual begitu saja. Karena sapi yang dijual tersebut telah diganti dengan hewan lain karena kondisinya tidak produktif. “Sudah diganti karena yang lama majer,” kata Kemis, Senin 28 April 2025.
Kemis mengklaim, keterangan mengenai kondisi kelima sapi itu diperoleh dari dokter hewan. Dari total 20 ekor sapi bantuan, saat ini jumlahnya tetap 20 ekor, meskipun sebelumnya ada tiga ekor sapi yang mati dan tiga ekor anak sapi yang lahir. “Jumlahnya sekarang tetap 20 ekor,” ujarnya.
Keterangan Dokter Hewan
Pernyataan Kemis dibantah oleh Princen Arif Winata, dokter hewan dari Dinas Perkebunan dan Peternakan Lampung Utara. Princen menyatakan tidak mengetahui adanya pergantian kelima ekor sapi tersebut.
Menurut Princen pergantian sapi bantuan harus melalui prosedur resmi, termasuk penerbitan surat keterangan dari dinas yang menyatakan sapi tersebut bermasalah dalam reproduksi. “Saya belum pernah menyatakan bahwa kelima sapi itu majer,” kata Princen.
Princen menjelaskan, sapi bantuan yang dikembangkan kelompok di Tanjungraja merupakan jenis simmental, limosin, dan sapi putih, dengan harga per ekor sekitar Rp14 juta pada 2023. Bantuan tersebut berasal dari program aspirasi anggota DPR RI. “Bantuan tersebut total berjumlah 20 ekor sapi,” katanya.
Keterangan Dinas
Sejumlah fakta baru yang ditemukan menguatkan dugaan tersebut penyimpangan sapi bantuan tahun 2023 itu. “Sapi itu dipotong sebelum dijual oleh kelompok itu,” kata Sekretaris Dinas Perkebunan dan Perternakan Lampung Utara, Ria Yuliza, usai meninjau lokasi kelompok penerima yang bermasalah tersebut, Rabu 30 April 2025.
Ria mengatakan, alasan sapi majir (bermasalah dalam reproduksi) yang diklaim kelompok jelas tidak berdasar. Petugas kesehatan hewannya tidak pernah menyatakan bahwa sapi itu majer. “Dokter hewan kami belum pernah menyatakan itu,” tegasnya.
Selain permasalahan di atas, pihaknya juga mendapati banyaknya pelanggaran prosedur lainnya yang dilakukan oleh pihak kelompok tersebut. Pelanggaran pertamanya adalah kelima sapi pengganti yang dibeli oleh kelompok ukuran dan harganya tidak sesuai. Harganya mulai dari Rp8,5 juta hingga Rp11 juta. “Sapi-sapi penggantinya berusia 8 bulan sampai dengan 1 tahun alias sapi anakan,” kata dia.
Kemudian, tidak ada pihak terkait mulai dari Babinsa atau Bhabinkamtibmas hingga aparatur desa yang mengetahui rencana penjualan sapi bantuan itu. Dasarnya hanya musyawarah kelompok saja. “Ini jelas salah karena tidak boleh seperti itu,” tuturnya.
Pelanggaran selanjutnya adalah sapi-sapi bantuan itu tidak ditempatkan ke dalam satu kandang melainkan terpisah. Terdapat tiga kandang untuk menampung ke-20 sapi tersebut. Pihak kelompok beralasan, kesibukan anggotanya yang membuat mereka terpaksa mengambil keputusan tersebut.
Dalam kunjungannya, ia meminta jaminan dari pihak kelompok jika memang sapi-sapi pengganti itu memang hasil mereka beli. Bukannya hasil meminjam yang akan dipulangkan setelah pihaknya pergi. Terdapat surat pernyataan dari kelompok terkait status sapi itu.
Semua temuan ini akan mereka laporkan kepada Balai Veterina Lampung. Balai ini merupakan unit pelaksana teknis (UPT) di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, yang memiliki fungsi utama dalam bidang kesehatan. “Berdasarkan keterangan di lapangan ternyata persoalan penjualan ini juga sedang ditangani oleh pihak Polres Lampung Utara,” jelas dia. (Red)