Bandarlampung, Sinarlampung.co – Upaya Reforma Agraria di Indonesia, khususnya di Provinsi Lampung, dinilai gagal mencapai tujuan keadilan pengelolaan lahan, terutama bagi masyarakat adat. Salah satu bukti kegagalan tersebut tercermin dalam pengabaian hak Masyarakat Adat Marga Buay Pemuka Pangeran Ilir (MBPPI) Negara Batin di Way Kanan, yang tanah adatnya kini menjadi bagian dari kawasan Hutan Register di bawah pengelolaan PT. Inhutani V.
Pakar hukum dan penasihat masyarakat adat MBPPI, Gindha Ansori Wayka, menyoroti perubahan fungsi hutan yang sejak 1940 diserahkan oleh tokoh adat MBPPI sebagai hutan larangan atau lindung, namun berubah menjadi hutan produksi dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI) sejak tahun 1996. Perubahan ini dilakukan melalui keputusan Menteri Kehutanan No. 398/Kpts-II/1996, yang memberikan hak pengusahaan seluas ±55.157 hektar kepada PT. Inhutani V.
“Sejak awal, pengelolaan oleh PT. Inhutani V tidak membawa manfaat nyata bagi masyarakat adat MBPPI. Bahkan dua kawasan register—Register 44 Sungai Muara Dua dan Register 46 Way Hanakau—yang dikelola perusahaan, justru banyak ditempati oleh pihak luar, bukan warga adat,” ungkap Gindha saat ditemui di Bandar Lampung.
Ia juga menyoroti tidak adanya tindak lanjut dari surat Menteri Kehutanan tahun 2001 yang meminta pengembalian tanah ulayat MBPPI dan mendorong kemitraan antara masyarakat adat dengan PT. Inhutani V serta PT. BLS. Menurutnya, implementasi surat tersebut tidak pernah terealisasi.
“Yang dimaksud dengan pola kemitraan adalah dengan masyarakat adat pemilik tanah, bukan dengan para pendatang yang saat ini tinggal di kawasan register,” tegas dosen hukum ini.
Gindha juga mengungkap dugaan kerugian negara dalam pengelolaan kawasan ini. Ia menilai bahwa kompensasi dari pihak-pihak yang menggarap lahan di kawasan tersebut hanya berkisar Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per hektar per tahun. Menurutnya, angka ini sangat tidak sebanding dengan potensi ekonomi kawasan hutan seluas puluhan ribu hektar.
“Negara seharusnya meninjau ulang izin konsesi PT. Inhutani V. Jika memang terbukti tidak optimal dan merugikan masyarakat adat serta negara, maka pencabutan izin menjadi langkah yang perlu dipertimbangkan serius,” tambah mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Pidana FH Unila ini.
Menanggapi terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan oleh Presiden Prabowo Subianto, Gindha menilai kebijakan ini menjadi momentum untuk membenahi tata kelola hutan. Namun ia menilai regulasi ini masih belum sepenuhnya mengakomodasi kepentingan masyarakat adat.
“Perpres ini memang fokus pada penertiban, tetapi belum cukup berpihak pada masyarakat adat sebagai pemilik historis kawasan. Pemerintah perlu menggandeng mereka dalam proses negosiasi dengan para perambah,” pungkasnya.
Desakan pencabutan izin pengelolaan kawasan hutan yang dinilai tak berkeadilan ini diprediksi akan terus menguat, seiring meningkatnya kesadaran masyarakat adat atas hak-hak historis mereka yang selama ini terabaikan. (Wagiman/*)