Jakarta, sinarlampung.co-Dua tersangka dari pihak swasta yang terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sabtu 15 Maret 2025 ternyata pengusaha asal Lampung Tengah. Mereka adalah Fauzi alias Pablo (MFZ) dan Ahmad Sugeng Santoso (ASS), yang juga sudah ditetapkan tersangka.
Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan empat tersangka selaku penerima suap yaitu Kepala Dinas PUPR Kabupaten OKU Nopriansyah (NOV), Ketua Komisi III DPRD OKU M. Fahrudin (MFR), Anggota Komisi III DPRD OKU Ferlan Juliansyah (FJ) dan Ketua Komisi II DPRD OKU Umi Hartati (UH). Sedangkan dua tersangka dari pihak swasta yaitu M. Fauzi alias Pablo (MFZ) dan Ahmad Sugeng Santoso (ASS).
“Penahanan dilakukan untuk 20 hari pertama di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK cabang C1 dan K4. Tersangka terdiri dari dua klaster yakni penerima dan pemberi suap. Bahkan kontrak sembilan proyek dilakukan di Kabupaten Lampung Tengah,” kata Setyo Budiyanto pada konfrensi Pers di Gedung Merah Putih KPK, Minggu petang 16 Maret 2025.
Setyo Budiyanto menjelaskan Kadis PUPR OKU NOV yang menawarkan kesembilan proyek tersebut kepada MFZ dan ASS dengan komitmen fee 22 persen dengan rincian 2 persen untuk PUPR dan 20 persen untuk DPRD. Atas petunjuk NOV, PPK menggunakan beberapa Perusahaan yang ada di Kabupaten Lampung Tengah.
Setyo Budiyanto mengungkapkan bahwa kasus ini berawal dari pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kabupaten OKU Tahun 2025. Tiga anggota DPRD diduga meminta uang ‘pokir’ atas persetujuan anggaran adalah Ketua Komisi III DPRD OKU inisial MFR dan FJ anggota Komisi III DPRD OKU, dan Ketua Komisi II DPRD OKU inisial UH.
Ketua KPK Setyo Budiyanto menuturkan terdapat pemufakatan jahat terkait pembahasan tersebut. Tujuannya agar RAPBD TA 2025 dapat disahkan. “Kemudian disepakati bahwa jatah pokir tersebut diubah menjadi proyek fisik di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sebesar Rp40 miliar dengan pembagian nilai proyek, yaitu untuk Ketua dan Wakil Ketua, nilai proyeknya disepakati adalah Rp5 miliar, sedangkan untuk anggota itu adalah Rp1 miliar,” ujatnya.
Nilai proyek kemudian turun menjadi Rp35 miliar karena keterbatasan anggaran. Meskipun begitu, untuk fee-nya tetap disepakati sebesar 20 persen bagi anggota DPRD, sehingga total fee-nya adalah sebesar Rp7 miliar. “Saat APBD Tahun Anggaran 2025 disetujui, anggaran Dinas PUPR naik dari pembahasan awal Rp48 miliar menjadi Rp96 miliar. Jadi, signifikan karena ada kesepakatan ya, maka yang awalnya Rp48 miliar bisa berubah menjadi 2 kali lipat,” ungkap Setyo.
NOP kemudian mengondisikan pihak swasta yang mengerjakan dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk menggunakan beberapa perusahaan yang ada di Lampung Tengah. Kemudian penyedia dan PPK melakukan penandatanganan kontrak di Lampung Tengah. “Ada beberapa nama perusahaan ya, antara lain termasuk juga kegiatannya. Yang pertama untuk rehabilitasi rumah dinas bupati, lebih kurang sekitar Rp8,3 miliar dengan penyedia CV RF,” jelas Setyo.
Kemudian rehabilitasi rumah dinas wakil bupati senilai Rp2,4 miliar dengan penyedia CV RE, pembangunan Kantor Dinas PUPR Kabupaten OKU senilai Rp9,8 miliar dengan penyedia CV DSA, pembangunan jembatan di Desa Guna Makmur senilai Rp983 Juta dengan penyedia CV GR. Kelima, peningkatan jalan poros Desa Tanjung Manggus, Desa Bandar Agung, senilai Rp4,9 miliar dengan penyedia CV DSA.
Selanjutnya peningkatan jalan Desa Panai Makmur-Guna Makmur senilai Rp4,9 miliar dengan penyedia CV ACN; peningkatan jalan Unit 16 Kedaton Timur senilai Rp4,9 miliar dengan penyedia CV MDR Coorporation; peningkatan jalan Letnan Muda M. Sidi Junet senilai Rp4,8 miliar dengan penyedia CV BH; dan peningkatan jalan Desa Makarti Tama sebesar Rp3,9 miliar dengan penyedia CV MDR Coorporation.
“Ini semua dilakukan oleh NOP dengan PPK. Mereka langsung berangkat ke wilayah Lampung, Provinsi Lampung, Kabupaten Lampung Tengah, dan berkoordinasi dengan para pihak. Jadi, pinjam nama, pinjam bendera, tetapi yang mengerjakan adalah saudara MFZ dengan ASS,” ujarnya.
Menjelang lebaran, pihak DPRD OKU yang diwakili FJ, MFR dan UH menagih jatah fee proyek kepada NOP sesuai dengan komitmen. NOP kemudian menjanjikan akan memberikan itu sebelum Hari Raya Idulfitri melalui pencairan uang muka 9 proyek yang sudah direncanakan sebelumnya. “Pada kegiatan ini, patut diduga bahwa berdasarkan informasi yang diperoleh, pertemuan dilakukan antara anggota dewan, kemudian Kepala Dinas PUPR juga dihadiri oleh pejabat bupati dan Kepala BPKD,” ungkap Setyo.
Pada 11-12 Maret 2025, MFZ mengurus pencairan uang muka atas beberapa proyek. Keesokan harinya, 13 Maret, sekitar pukul 14 waktu setempat, MFZ mencairkan uang muka di bank daerah. “Kemudian karena ada permasalahan terkait cash flow-nya, uang yang ada diprioritaskan untuk membayar THR, TPP dan penghasilan perangkat daerah,” ucap Setyo.
Pada tanggal 13 Maret juga MFZ menyerahkan uang sebesar Rp2,2 miliar kepada NOP. Uang itu merupakan bagian komitmen di proyek yang kemudian diminta oleh NOP dititipkan di A (PNS pada Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kabupaten OKU).
Uang Berasal Dari Uang Muka Pencairan Proyek
Selain itu, lanjut Setyo, pada awal Maret 2025, ASS sudah menyerahkan uang sebesar Rp1,5 miliar kepada NOP di rumah NOP. Pada 15 Maret sekitar pukul 6.30, tim KPK mendatangi rumah NOP dan A, dan menemukan serta melakukan penyitaan uang sebesar Rp2,6 miliar yang merupakan uang komitmen dari MFZ dan ASS.
Secara paralel, tim KPK juga menangkap MFZ, ASS, serta FJ, MFR dan UH di rumahnya masing-masing. Selain itu, tim KPK turut mengamankan pihak lain yaitu A dan S. “Dalam kegiatan tersebut, tim juga mengamankan barang bukti berupa satu unit kendaraan roda empat merek Toyota Fortuner BG-1851-ID, kemudian dokumen, beberapa alat komunikasi serta barang bukti elektronik lainnya,” ungkap Setyo.
Sementara uang Rp1,5 miliar yang diserahkan di awal sebagian sudah digunakan untuk kepentingan NOP termasuk untuk pembelian mobil Toyota Fortuner. Sisa uang masih ada. Tim KPK kemudian memintai keterangan para pihak terjaring OTT tersebut di Polres Baturaja dan Polda Sumsel.
Mereka baru tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Minggu 16 Maret 2025 pagi. “Berdasarkan hasil ekspose tersebut telah ditemukan bukti permulaan yang cukup terkait dugaan tidak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji dengan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Dinas PUPR Kabupaten OKU dari tahun 2024 sampai dengan tahun 2025, selanjutnya semua sepakat untuk dinaikkan ke tahap penyidikan dan menetapkan status tersangka,” kata Setyo.
Empat tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b dan Pasal 12 huruf f dan Pasal 12B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ada dugaan penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara (NOP atau anggota DPRD OKU).
Sementara dua tersangka dari pihak swasta selaku pemberi yakni MFZ dan ASS disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Tipikor. “Jad, ada 2 klaster. Ada pihak penerima dan pihak pemberi,” kata Setyo. (Red)