TAHUKAH Anda, bahwa telur yang kita konsumsi adalah telur ayam yang tidak bahagia. Tidak bahagia karena telur ayam yang kita makan sehari-hari tidak berawal dari proses perkawinan ayam jantan dan ayam betina. Telur tidak bahagia itu, justru berasal dari ‘penjara’ atau kandang ayam.
Kebiasaan mengonsumsi telur ayam tidak bahagia itu sudah berlangsung lama, lantaran produksi telur ayam kampung sangat terbatas.
Sejauh ini nyaris belum ada usaha dari pemerintah untuk meningkatkan produksi telur ayam hasil perkawinan ayam kampung.
Demi ketersediaan protein hewani, pemerintah fokus meningkatkan produksi telur ayam melalui industri yang mengandalkan pakan dan menggunakan kimia aman.
Telur adalah anugrah pangan terbesar dari Tuhan. Dalam sejarah asal muasalnya, telur keluar setelah ayam betina dibuahi ayam jantan.
Namun akal manusia dan pengetahuan telah mengubahnya. Dan, atas dasar pemenuhan protein hewani, dunia pun bisa menerimanya.
Setelah melalui sejumlah rekayasa genetika manusia berhasil menemukan jenis ayam betina baru yang disebut ayam petelur (ayam ras).
Generasi jenis ayam ini dipaksa bertelur serentak secara massal dalam kandang-kandang peternakan. Di dalam kandang, ayam petelur diberi makan, bahkan vitamin supaya bisa bertelur rutin dan sehat.
Telur-telurnya didistribukan ke pasar menjadi pilihan konsumsi kebanyakan masyarakat untuk pemenuhan gizi (protein) yang paling murah.
Tak dapat dipungkiri, telur telah menjadi salah satu sumber protein andalan dalam upaya mencegah dan menurunkan angka stunting.
Sayangnya, harga telur ayam ras masih terasa mahal bagi kelompok masyarakat bawah yang notabene masuk dalam kelompok rawan stunting.
Tapi syukurlah, per Sabtu (12/8/2023) atau lima hari sebelum HUT RI Ke-78, harga telur ayam ras di Bandarlampung mulai turun hingga Rp6 ribu per karpet (setara 15 kg). Semula harga per karpet Rp406 ribu turun menjadi Rp400 ribu.
Merdeka! (iwa)