Bandar Lampung, (SL) – Puluhan Perempuan yang tergabung dalam Perserikatan Solidaritas Perempuan (PSP) menggelar Konferensi Nasional (Konfernas) Gerakan Perempuan Indonesia, di Hotel Horison, Rabu dan Kamis (2-3/8).
Para aktivis perempuan Indonesia ini melakukan konsolidasi dan memperluas jaringan, sebagai bentuk perlawanan atas diskriminasi, eksploitasi dan penindasan berlapis pada kaum perempuan.
Melalui keterangan resmi yang diterima sinarlampung.co, kamis (3/8), Gerakan Perempuan Indonesia dideklarasikan sebagai bentuk perlawanan kaum perempuan atas ketidakadilan politik patriarki.
Sistem Politik Patriarki dinilai menegasikan eksistensi kaum perempuan dengan kepentingan mendasar dan hak yang melekat.
Patriarki hari ini disebut telah merealisasikan diri dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kapitalisme, militerisme, serta fundamentalisme yang menindas masyarakat miskin yang notabene sebagian besar adalah perempuan.
Manifestasi dan Ideologi Patriarki telah menjadikan kaum perempuan hanya sebagai objek pembangunan, bukan subjek pembangunan.
Perempuan tidak memiliki ruang dan kuasa dalam pengambilan keputusan yang akan berdampak pada diri sendiri, keluarga, komunitas dan negara.
Keterkaitan yang erat antara perempuan dengan alam sebagai sumber kehidupan, menjadikan perempuan mengalami dampak yang lebih spesifik yang tidak dialami oleh kelompok masyarakat lainnya.
Situasi spesifik seperti itu yang seringkali absen dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring hingga evaluasi pembangunan di Indonesia.
Sistem yang demikian, telah memiskinkan dan menghilangkan kedaulatan perempuan atas hidup dan kehidupannya.
Situasi tersebut diperburuk oleh pandemi COVID-19 yang juga memberikan tantangan tersendiri bagi perempuan. Pandemi telah menunjukan pengalaman yang berbeda dari krisis lainnya yang pernah dialami oleh dunia sebelumnya.
Krisis kali ini telah mengubah dan mengganggu pola serta jaringan sosial dan mobilitas, memutus dikotomi tenaga kerja formal dan informal, serta mendefinisikan kembali konsep pekerjaan perawatan, pekerjaan esensial dan siapa yang melaksanakannya.
Pada banyak kasus temuan PSP, norma patriarki di berbagai ranah seperti tempat kerja maupun ruang publik semakin kuat.
Dari lonjakan kekerasan berbasis gender, hilangnya pendapatan dan mata pencaharian perempuan yang sebagian besar dipekerjakan yang secara lepas, harian dan pendek, kemudian peningkatan
beban perempuan atas pekerjaan perawatan yang tidak berbayar.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sendiri dalam laporan yang berjudul “Menilai Dampak COVID-19 terhadap Gender dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia,” menyebutkan bahwa pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan tapi juga sosio-ekonomi khususnya bagi perempuan sebagai kelompok rentan.
Senada dengan Survei Komnas Perempuan pada 2020 yang mengungkapkan, meningkatnya kekerasan terhadap perempuan pada saat pandemi.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa beban pekerjaan rumah tangga selama pandemi secara umum masih ditanggung oleh perempuan, dibandingkan laki-laki.
Dengan kata lain, krisis kesehatan ini berkelindan dengan krisis lainnya seperti krisis ekonomi, krisis sosial, krisis politik, krisis hukum, krisis akibat bencana alam dan ekologis, krisis iklim, sebagai sebuah krisis multidimensi.
Situasi perempuan yang mengalami krisis berlapis di berbagai dimensi kehidupannya tidak terjadi begitu saja, melainkan terjadi secara sistematis akibat politik ekonomi patriarki yang menjadi pijakan dalam mengeluarkan kebijakan.
Politik patriarki tercermin dalam regulasi yang dihasilkan maupun langkah yang dilakukan oleh Negara sebagai pemangku tanggung jawab pengakuan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia.
Struktur kuasa yang tidak adil menyebabkan perempuan dengan lapisan identitasnya harus berhadapan dengan relasi kuasa yang timpang, baik berhadapan dengan negara dan perusahaan yang merampas kedaulatan perempuan, maupun dalam struktur sosial patriarkis yang
masih meminggirkan dan tidak mengakui peran serta posisi perempuan.
Situasi tersebut telah berkontribusi memperkuat pemiskinan perempuan marginal.
Pengejawantahan sistem politik patriarkis dihasilkan dari pola pembajakan sistem Pemilihan Umum (Pemilu) yang menggunakan polarisasi, politisasi agama, maupun
politik identitas sebagai alat untuk memenangkan kontestasi politik.
Pemilu dianggap hanya sebatas mendapatkan kuasa dan dijadikan target perolehan suara tanpa membincangkan substansi situasi dan kepentingan perempuan.
Disebutkan pada Pemilu 2024 adalah momentum politik yang penting untuk mengubah situasi tersebut. Sebuah momentum yang perlu diperjuangkan dan direbut gerakan perempuan, sehingga dapat berkontribusi terhadap transformasi sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan dan masyarakat lainnya.
Konfernas Gerakan Perempuan Indonesia ini, dilakukan untuk mensinergikan gerak pada ragam perjuangan perempuan di berbagai konteks, maupun di berbagai tingkat, baik lokal, nasional, regional maupun internasional.
Dengan konsolidasi pada konfernas Gerakan Perempuan Indonesia tersebut, para aktivis menyatukan visi mewujudkan kedaulatan perempuan atas hidup dan sumber-sumber kehidupannya, serta menyusun strategi dan perlawanan yang mendorong transformasi sistem. (Red)