Pringsewu (SL)-Kasus hubungan sedarah atau Inses (Incest) menjadi bahasan utama dalam kegiatan Seminar Nasional bertajuk “Membangun Kesadaran Masyarakat dalam Upaya Pencegahan Tindak Kekerasan Seksual Hubungan Sedarah (Incest) Terhadap Perempuan dan Anak” di Pringsewu, Selasa 4 Juli 2023.
Any Nurhayati, seorang pakar psikologi yang juga pemateri seminar mengungkap alasan prilaku inses bisa terjadi berulang dalam keluarga. Dia mengatakan, perilaku inses terjadi berulang karena faktor kesalahpahaman korban terhadap perilaku inses, di samping tekanan dan intimidasi pelaku.
Any menyebut, dampak terburuk perilaku inses diantaranya dapat mengganggu psikologis, medis, stigma dan masa depan korban.
“Inses adalah hubungan seksual yang terjadi antara kerabat inti seperti ayah atau paman. Inses dapat terjadi suka sama suka dalam perkawinan namun banyak terjadi secara paksa dengan tipu daya dan iming-iming dari pelaku,” kata Any.
Adapun korban pada umumnya didominasi anak di bawah umur, baik normal maupun penderita keterbelakangan mental. Padahal, inses merupakan perbuatan yang hampir dilarang segala lini, baik agama, lingkungan sosial maupun budaya.
Selain itu, pemicu inses juga muncul karena faktor internal keluarga meliputi, biologis, psikologis, ekonomi, pendidikan, agama dan pengetahuan. Sedangkan faktor struktural, perilaku inses dipengaruhi oleh konflik budaya, kemiskinan dan pengangguran.
Sementara inses berdasarkan penyebabnya, pertama, karena ketidaksengajaan seperti kakak dan adik dengan dorongan seksual remaja atau eksperimental dari tontonan media sosial serta meniru orang tuanya. Kedua, psikopatologi/pedofilia merupakan prilaku alkoholik atau pengaruh obat-obatan serta adanya gangguan psikologi seperti pedofilia.
“Kemudian, alasan anggota keluarga pelaku inses seperti ayah karena masa kecil kurang bahagia, keluarga tidak harmonis, korban penganiayaan seksual masa kecil, kepribadian pasif agresif serta pengguna obat terlarang serta alkohol,” jelas Any.
Selanjutnya, pelaku inses pada ibu kandung disebabkan tingkat kecerdasan rendah dan mengalami gangguan emosional. Kurangnya kehadiran suami secara fisik dan emosional sehingga berharap anak laki-lakinya dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
“Kenali gejala anak mengalami kekerasan seksual diantaranya, kesulitan/ kesakitan saat berjalan dan duduk, perubahan prilaku menjadi pendiam, perubahan selera makan, penambahan/penurunan berat badan secara drastic, gangguan tidur, tidak mau ditinggal sendirian, dan percobaan bunuh diri,” tambahnya lagi.
Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya perilaku inses di dalam keluarga, bisa dilakukan dengan tiga cara, yakni secara preventif, promotif dan kuratif. Any juga mengajak instansi, aparat desa, lembaga mandiri, institusi pendidikan dan masyarakat untuk bekerja sama mengatasi masalah seksual tersebut.
“Mari bekerjasama, instansi resmi, aparat desa, lembaga mandiri, institusi Pendidikan, dan masyarakat dalam menangani masalah inses ini,” pungkas Any.
Diketahui, seminar tersebut merupakan kerjasama antara Forum Kerjasama Kejaksaan Negeri Pringsewu dan Pondok Pesantren Insan Mulia Boarding School Pringsewu. Acara diadakan tatap muka serta secara daring yang dihadiri lebih dari 300 peserta. (Heny)