Bandar Lampung (SL)-Meski terlilit hutang triliuanan, PTPN VII jutrus melakukan pemborosan dengan renovasi Gedung Kantor dengan anggaran Rp2,1 miliar hanya untuk menutup dinding marmer dengan alumunium komposite panel tahun anggaran 2021. Selain itu terindikasi akal akalan menghabiskan anggaran. Pasalnya kondisi marmer masih dalam kondisi baik dan berkualitas dan kokoh namun ditutupi dengan alumunium dna pekerjaan bermasalah.
Proyek dengan judul Pemasangan Alumunium Komposite Panel Kebutuhan Kantor Direksi Rp2,1 miliar, dalam kontrak No. PNU/TT/KTR/08/74/2021, ditandatangani pada 13 September 2021 oleh Senior Executive Vice Presiden (SEVP) Business Support PTPN VII Okta Kurnia, sebagai pihak pertama, dengan pelaksana CV. Putra Abung Sentosa dengan Direktur Andhika Tubagus Dinata.
Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Peduli Lampung (GPL) Fariza Novita Icha mengatakan pihaknya mencurigai dugaan pemborosan anggaran di PTPN VII Bandar Lampung, terutama dalam proyek alumunium komposite panel tahun anggaran 2021 untuk Gedung Direksi. “Dinding baru Marmer gedung masoh kokoh dan bagus, tinggal dilakuakn perawatan saja. Kenapa harus di tutup alumunium, dengan anngaran Rp2,1 miliar,” kata Fariza Icha.
Menurut aktivis penggiat anti korupsi ini, menyebutkan bahwa dalam kotrak yang mereka lihat itu terjati keterlambatan kerja. Dalam pasal 3 surat kontrak menyebutkan, jangka waktu pelaksanaan pekerjaan tanggal 13 September 2021 sampai tanggal 31 Desember 2021. Namun, hingga akhir tahun 2021, pengerjaan proyek penutup marmer Gedung Kantor Direksi PTPN VII belum selesai. Ada bagian gedung yang belum juga rampung.
Lalu, sesuai dengan Pasal 11 tentang Sanksi dan Denda. Apabila dalam batas waktu penyelesaian pekerjaan sebagaimana tersebut pasal 3 dalam perjanjian ini, ternyata belum selesai diserahkan oleh pihak kedua kepada pihak pertama sesuai dengan jadwal, maka dengan mengecualian berlakunya ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata pihak kedua dikenakan denda akibat kerugian yang disebabkan oleh keterlambatan penyerahan barang sebagai berikut:
Pertama, bilamana penyerahan barang terlambat dari batas waktu yang telah ditentukan dalam Pasal 3 perjanjian ini dan keterlambatan penyelesaian pekerjaan tersebut bukan disebabkan oleh force majeure sebagaimana dimaksud pasal 10 perjanjian ini maka pihak kedua dikenakan denda sebesar 0,1% dari harga pekerjaan untuk setiap hari keterlambatan maksimal 5% dari pekerjaan.
Kedua, apabila keterlambatan melebihi dari 50 hari kalender dan pihak kedua sudah menerima peringatan sebanyak 3 kali tetapi belum ada tanda-tanda untuk menyelesaikan pekerjaan maka pihak pertama akan memutuskan surat perjanjian kerja ini secara sepihak dan semua biaya yang diakibatkan oleh pemutusan hubungan kerja ini akan dibebankan kepada pihak kedua.
Dan soal perpanjangan waktu pekerjaan tidak bisa asal diperpanjang, harus sesuai ketentuan. Seperti disebutkan dalam Pasal 12 soal Perpanjangan Waktu Penyelesaian. Bahwa permohonan perpanjangan waktu pelaksanaan pekerjaan dari pihak kedua hanya diberikan karena perintah perubahan atau penambahan pekerjaan oleh pihak pertama, keadaan yang berada di luar kemampuan pihak kedua (keadaan force majeure).
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1 perjanjian ini atau alasan lain yang dapat diterima yang mengakibatkan terhambatnya segala kegiatan pekerjaan dan laporkan secara tertulis oleh pihak kedua kepada pihak pertama. Permohonan perpanjangan waktu penyelesaian pekerjaan secara tertulis harus sudah diterima pihak pertama selambat-lambatnya 12 hari kalender sebelum tanggal penyerahan pertama pekerjaan dengan melampirkan bukti keterangan resmi dari instansi terkait.
“Kegiatan Pemasangan Alumunium Komposite Panel Kebutuhan Kantor Direksi PPTN VII ini diduga ada pengurangan komponen barang. Rangka Hollow Galvanis uk 40 yang mustinya ukuran 40 x 1,6 mm, dikurangi menjadi ukuran 35 x 1,6 mm. Dan akibat pengurangan komponen Hollow tersebut, pihak PTPN VII (pihak pertama) sudah memerintahkan untuk membongkar. Informasi dari pekerja sudah ada sebagian yang dibongkar,” katanya.
Akademisi PTPN VII Proyek Alumunium Gedung Tidak Efektif
Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unila Fajrin Satria Dwi Kesumah, mengatakan bahwa kegiatan/proyek alumunium menutup marmer Gedung Kantor Direksi PTPN VII dapat dinilai tidak efektif. Karena disaat perusahaan saat ini sedang meranjak naik dari sisi profit, dana yang cukup fantastis itu digunakan untuk kegiatan yang tidak mendesak.
Dilangsir warta9.com, Pemerhati BUMN ini menyebutkan bahwa pada suatu kesempatan Direktur PTPN VII menyatakan saat ini PTPN VII memasuki fase sustainable melalui Good Corporate Governance (GCG). Namun di akhir tahun 2021 terdapat kegiatan PTPN VII yang justru tidak sejalan dengan salah satu prinsip GCG, yaitu akuntabilitas.
Dimana pada prinsip ini menyatakan bahwa perusahaan harus dapat mengelola segala aktivitasnya secara efektif yang memiliki fungsi dan manfaat kegiatan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. “Kegiatan menutup marmer Gedung Kantor Direksi PTPN VII dengan pemasangan alumunium komposite Panel Kebutuhan Kantor Direksi yang memiliki anggaran lebih dari Rp2 miliar, telah lewat dari masa kontrak pengerjaannya yang berakhir di 31 Desember 2021,” katanya.
Sehingga, lanjutnya dari sisi prinsip akuntabilitas tentu kegiatan tersebut dapat dinilai tidak efektif. “Kenapa?, Karena disaat perusahaan saat ini sedang meranjak naik dari sisi profit, dana yang cukup fantasti tersebut malah digunakan untuk keperluan yang belum terlalu mendesak dan memberikan manfaat yang kurang signifikan bagi perusahaan,” ujar Fajrin.
Oleh sebab itu, lanjut Fajrin, dengan telah membaiknya posisi keuangan PTPN VII sejak tahun 2021, seharusnya perusahaan dapat lebih mampu mengelola keuangan untuk kegiatan-kegiatan yang lebih menunjang peningkatan profitabilitas perusahaan. Apalagi PTPN VII masih mempunyai hutang sekitar Rp12 triliun walau saat ini dilakukan restrukturisasi.
Belum ada tanggapan resmi dari PTPN VII terkait proyek tersebut. Dikonfirmasi di Kantor PTPN VII, Senior Executive Vice Presiden (SEVP) Business Support PTPN VII Okta Kurnia, sedang tidak ditempat. (Red)