Bandar Lampung (SL)-Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandar Lampung merilis hasil riset terkait media memberitakan pandemi covid-19, dalam diskusi publik secara virtual, sekaligus merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-27 AJI, Minggu, 8 Agustus 2021.
Ketua AJI Bandar Lampung Hendry Sihaloho, mengatakan, riset itu sekadar memotret pemberitaan sejumlah media terkait pandemik covid-19.
AJI Bandar Lampung meneliti pemberitaan tiga media cetak, yaitu Lampung Post, Radar Lampung, dan Tribun Lampung.
“Kita menilai tiga koran ini relatif besar dan punya pembaca cukup banyak,” ujarnya.
Koordinator Tim Riset AJI Bandar Lampung, Alfanny Pratama, mengungkapkan, berita yang diteliti hanya yang terbit sepanjang 12-21 Juli 2021.
Pada periode itu, pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Bandar Lampung. Jadi, pihaknya hanya meriset pemberitaan seputar PPKM Darurat dan hal-hal terkait dengan kebijakan tersebut.
“Tujuan dari riset ini untuk mengetahui bagaimana tiga media cetak di Lampung mengemas pemberitaan pandemik covid-19 selama kebijakan PPKM Darurat. Apakah media menjadi corong pemerintah atau lebih banyak mengangkat suara publik,” kata Alfanny.
Berdasarkan hasil riset AJI Bandar Lampung selama PPKM darurat pada tiga media cetak telah ditentukan, AJI meneliti narasumber yang paling banyak digunakan adalah pemerintah. Rinciannya, media cetak Tribun Lampung sumber informasi didapat dari masyarakat sipil/komunitas/individu adalah 20 persen. Kemudian sumber organisasi masyarakat atau NGO 9,4 persen, akademisi/ahli 7,1 persen, Institusi/lembaga negara 21,2 persen dan terbanyak sumber daei pemerintah 42,4 persen
Untuk media cetak Lampung Post, mengambil narasumber dari masyarakat sipil/komunitas/individu 6,1 persen, organisasi masyarakat atau NGO 4 persen, Akademisi/ahli 21,2 persen, Institusi/lembaga negara 25,3 persen dan tingkat sumber paling banyak juga pada pemerintah 43,4 persen.
Sedangkan media cetak Radar Lampung menggunakan narasumber masyarakat sipil/komunitas/individu hanya 6 persen, organisasi masyarakat atau NGO 3 persen, akademisi/ahli 5 persen Institusi/lembaga negara 20 persen dan paling banyak sumber dari pemerintah 66 persen.
Alfanny memaparkan, pada pemberitaan yang diwartakan lebih banyak memberi ruang untuk pemerintah. Hal itu terlihat pada terbitan Tribun Lampung 12 Juli 2021 dengan judul berita “Denda Tempat Usaha Rp 5 Juta”.
“Dari berita itu, terdapat empat narasumber dari kalangan pemerintah semua. Berangkat dari hal tersebut, kami ingin mengetahui wajah pemberitaan sejumlah media cetak terkait penanganan pada masa PPKM Darurat di Bandar Lampung,” terangnya.
Febrilia Ekawati dari Pantau Covid Lampung sebagai pembicara dalam diskusi tersebut, juga menyampaikan kondisi di lapangan yang menurutnya tidak sesuai dengan apa yang diberitakan media.
“Apa yang diberitakan seolah penanganan pandemik baik-baik saja. Faktanya situasi saat ini tidak baik-baik saja. Kami yang baru empat hari membuka peminjaman tabung oksigen saja sangat miris,” kata dia.
Febri menceritakan bagaimana para relawan di Pantau Covid Lampung dalam satu hari menerima telpon dari 30 peminjam tabung.
“Rata-rata mereka ada yang di rumah sakit karena kekurangan tabung atau isinya. Atau lagi di rumah, namuj tidak ada pengawasan dari puskesmas atau satgas Covid-19,” katanya.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Lampung, Dodi Faedluloh mengatakan, pers tidak boleh menjadi corong atau alat propaganda pemerintah dalam kondisi seperti apa pun. Apalagi saat kondisi krisis karena pandemik.
Menurutnya, keberadaan pers harus menjadi penyampai informasi sesuai pemahaman yang diyakininya, agar kemudian pemahaman itu bisa menjadi pemahaman publik.
“Dalam konteks agenda setting, peran pers bisa menjadi bagian dari policy entrepreneurs dari pihak non-pemerintah yang mendesakkan masalah tertentu ke agenda yang lebih tinggi, dalam hal ini penanganan pandemik yang lebih serius dan holistik,” ujar Dodi.
Dia juga menyoroti bagaimana sikap akademisi yang sangat jarang menyampaikan suara kritis. Meski ada, namun menurutnya bisa dihitung dengan jari.
“Padahal banyak hal bisa dilakukan. Seperti hasil riset akademisi bisa dipublikasikan lebih luas dan diakses publik. Intinya lebih membumikan hasil riset agar tidak hanya dikonsumsi kalangan peneliti saja,” ujarnya. (Red)