Bandar Lampung (SL)-Selain ada kode “Kopiko” dugaan korupsi fee proyek mengalir ke Pimpinan dan anggota DPRD dan Wartawan di Lampung Utara priode 2014-2019. Pimpinan dan anggota kecipratan proyek senilai Rp12 miliar APBD 2017 dan Rp 600 juta kepada oknum wartawan. Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan keterang delapan saksi, dengan terdakwa Bupati Non aktif Agung Ilmu Mangkunegara, Senin 16 Maret 2020.
Baca: Dugaan Fee Proyek Lampung Utara Mengalir Ke Petinggi Polda, JPU Akan Lapor ke Pimpinan KPK
Baca: Fee Proyek Kepada Bupati 20%, Penarik Setoran Keluarga dan Kerabat Agung Ilmu Mangkunegara
Dalam sidang lanjutan perkara korupsi bupati nonaktif Kabupaten Lampung Utara, Agung Ilmu Mangkunegara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Tanjungkarang, menghadirkan delapan orang saksi yakni Fria Afris Pratama, Kasi Pembangunan Jalan dan Bina Marga, Franstory mantan Plt Kadis PUPR.
Kemudian Yuri Saputra PPTK Bidang Cipta Karya Dinas PUPR, Efiri Yanto PPTK Dinas PUPR 2015-2018, Kasi Promosi Dalam dan Luar Negeri Disdag A Rozie, Kabid Keamanan dan Ketertiban Disdag Riduan, Bendahara Disdag Sahroni, dan Bendahara Tugas Pembantu 2019 Disdag Arli Yusran.
Kepala Seksi Pembangunan Jalan Dinas PUPR Lampura Fria Afris Pratama dalam kesaksiannya menyebutkan, ada jatah pekerjaan proyek senilai Rp12 miliar untuk DPRD Lampung Utara di APBD 2017. Jatah tersebut dibagi-bagi untuk Wakil Ketua DPRD Lampura Madri Daud (Fraksi Gerindra), Emir Kartika Candra (Fraksi PKB) dengan dua paket pekerjaan dan fee sebesar Rp147 juta.
“Fraksi PDIP Rachmat Hartono, ketua DPRD fee-nya Rp597 juta, Nurdin Habim fraksi Gerindra Rp1,5 miliar. Itu semua pak Syahbudin yang atur,” kata Fria, yang juga menyebutkan nama aparat penegak hukum dan wartawan.
“Pembagian proyek itu di tahun 2017. Apakah masih ada lagi,” timpal Jaksa KPK. “Fraksinya Mandri Daud itu apa? Jangan ada yang ditutupi, jika memang Saudara lupa, kami pegang semua bukti BAP Anda sebelumnya, biar kami ingatkan,” kata Jaksa KPK.
Jaksa KPK menanyakan ada penyerahan uang terhadap aparat penegak hukum, dalam rangka apa. Saksi menjawab tidak tahu. Saat ditanya soal pengeluaran Rp600 juta tersebut diberikan kepada oknum wartawan dari media apa?. Saksi terdiam untuk menyebutkan wartawan dari media apa penerima anggaran itu. “Ini besar sekali anggaranya sampai Rp600 juta, biar lebih jelas media apa,” tanya Jaksa KPK.
Saksi menjawab lupa, menurut saksi penyerahan uang kepada wartawan perorangan, untuk media dia tidak mengingatnya. Jaksa kembali mengejar mempertanyakan perorangan tersebut siapa. “Riduan, Sandi, Saya lupa pak medianya apa,” katanya.
Aliran Fee Proyek 20-35% Sejak 2015 Ke Bupati
Dalam kesaksiannya, Fria mengakui, bahwa dari tahun 2015 hingga 2017, puluhan miliar rupiah mengalir dari rekanan ke Kadis PUPR untuk Bupati. Aliran fee 20 persen sejak tahun 2015, untuk setiap paket proyek. “Jadi, sebelum ke Bupati, uang fee itu terlebih dahulu disetorkan ke Syahbudin,” kata Fria.
“Jadi uang itu disetor ke saksi terlebih dahulu, kemudian ke Syahbudin, selanjutnya diberikan ke Agung?” kejar JPU KPK Taufiq, memastikan jawaban Fria. “Iya benar,” tegas Fria.
“Jadi ini catatan anda dari 2015, yang mana total pekerjaan Rp184 miliar dan fee nya sebesar Rp36 miliar, benar ya?” tanya Taufiq memastikan BAP. “Benar, tapi fee itu perkiraan saja, dan saya hanya terima dari pengumpulan Rp1 miliar,” jawab Fria.
Fria menjelaskan untuk tahun 2016, dirinya juga bertugas mengumpulkan fee dari rekanan sebesar Rp1 miliar, dan sisanya melalui Taufik Hidayat, Akbar Tandi Irian, dan Syahbudin. “Tahun 2016, ada di catatan semua, total pagu Rp336 miliar, total fee Rp67 miliar,” kata Fria.
Uang-uang tersebut, kata Fria, setelah dikumpulkan kemudian disetorkan ke Syahbudin. “Saya catat dibuku agenda saya untuk mengingat saat plotingan, agar tidak kelewat, ada dua buku agenda, dari tahun 2015 sampai 2017. Dan ada paraf setiap penerimaan dan penyerahan,” terang Fria.
Untuk tahun 2017, lanjut Fria ada total pagu proyek sebesar Rp407 miliar dengan total fee Rp81 miliar. “Dan saya hanya terima dari rekanan sebesar Rp7,61 miliar,” jelas Fria.
Jaksa Taufik kembali menanyakan, selain Fria, siapa saja yang dikumpulkan?. “Seingat saya, Erzal sebesar Rp4,9 miliar, Mangku Alam Rp7,8 miliar, Helmi Jaya Rp4,7 miliar, Syahbudin Rp6,3 milar, Karnadni Rp784 juta, Susilo Dwiko Rp540 juta, Franstori Rp34 juta, Gunaido Rp200 juta, Amrul Rp106 juta, Ansabak Rp900 juta, Ika orang dinas PUPR Rp70 juta, Sairul Haniba Rp40 juta, Yulias Dwiantoro Rp569,5 juta,” beber Fria.
Dari pengumpulan fee itu, Fria mengaku mengambil fee sebesar Rp1,320 miliar untuk pekerjaan tahun 2018. “Tapi sampai sekarang yang saya ambil fee gak dapat pekerjaan karena tidak dikelola Syahbudin,” kata Fria.
Fria menambahkan tahun 2018, dirinya juga tidak mengambil fee lagi lantaran Kadis PUPR dijabat oleh Franstori. “Kalau 2019, total nilai Rp88 miliar, fee Rp11 miliar dan saat itu yang bertugas Helmi Jaya, kalau saya mengumpulkan hanya Rp238 juta,” tandasnya.
Apakah ada permintaan dalam pencairan anggaran? tanya Jaksa. “Ada, Desyadi, Kepala BPKAD, meminta 5 persen,” jawab Fria.
Fria mengaku, uang potongan tersebut akan disetorkan ke Agung. “Menurut Desyadi, setelah dikurangi dengan pajak dan supervisi saya setor,” terang Fria. Yang menjelaskan pada tahun 2016, Dia menyetorkan fee Rp500 juta dan 2017 sebesar Rp700 juta. “Untuk 2018 dan 2019, saya tidak kelola,” katanya.
Fria kembali menjelaskan bahwa dirinya hanya bertugas mencatat pencairan dan membayarkan. Selain itu, ada tugas dari Syahbudin yakni, mencatat semua pekerjaan di Dinas PU dan membantu Syahbudin memploting semua rekanan yang dapat pekerjaan di Lampura dari 2015 sampai 2017. “Apakah ada mencatat lain, seperti penerimaan fee?” tanya JPU Taufiq.
“Ada penerimaan fee, ada catatan dari 2015, tapi yang saya terima,” jawab Fria yang juga mengaku mencatat beberapa penerimaan fee yang diambil oleh anggota dinas PUPR di buku agendanya. “Seperti Helmi (Kasi Alat Berat), Eko Erzal (staf Cipta Karya), Mangku Alam (Kasi Perencanaan), Syahbudin juga,” ujar Fria.
Sementara pada tahun 2018, Fria mengaku sudah tidak ikut campur dalam ploting proyek dan fee proyek lantaran diambil alih oleh Plt Bupati Lampura Sri Widodo. “Dan 2019, saya gak banyak, karena ada Helmi Jaya yang ngurus penerimaan fee,” katanya.
Fria menyebutkan kalau potongan fee untuk proyek fisik sebesar 20 persen dan non fisik sebesar 35 persen. “Dan saya hanya mencatat, sedangkan yang mendekte pak Syahbudin. Di mana pengaturan fee dimulai dari nama teratas, misalnya nama rekanan nomor satu, dia menyerahkan fee Rp50 juta, maka itu mendapatkan nilai pekerjaan Rp250 juta,” sebutnya.
Fria pun tak mengetahui terkait fee tersebut untuk siapa, dan ia hanya mengetahui untuk Syahbudin.”Atau pihak lain?” sahut JPU Taufiq. “Kemudian ke Pak Agung, itu dari keterangan Pak Syahbudin bahwa itu untuk pak Agung dan sebagian untuk aparat hukum,” jawan Fria.
Kode Kopiko
Selain itu, dalam sidang lanjutan tersebut, Jaksa KPK juga menyebut ada kode ‘kopiko’ hasil tangkap layar atau screenshot percakapan via WhatApps terkait operasi tangkap tangan (OTT) bupati nonaktif Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara.
Jaksa KPK mengonfirmasi pernyataan saksi terkait ‘kopiko’ yang dimaksud ialah KPK. Menggunakan kode agar tidak ketahuan jadi menggunakan bahasa samaran. Di percakapan terungkap kode ‘kopiko’ yang digunakan aparat kepolisian.
Saksi Fria Afris mengatakan bahwa di 6 Oktober 2019, dirinya dan kepala dinas (PUPR) Syahbudin bertemu dengan polisi di Hotel Grand Anugerah, Kota Bandar Lampung. “Sekitar pukul 12.30 WIB, Syahbudin bertemu di Hotel Grand Anugerah untuk memberikan uang tunai. Setelah menyerahkan uang, disebutkan bahwa ‘kopiko’ sudah tiba,” ujar saksi. (red/**)