Buteng (SL) – Sitti Marfuah (34), istri Muh. Sadli Saleh (33), wartawan Kabupaten Buton Tengah (Buteng), Sulawesi Tenggara (Sultra), berniat melaporkan Saksi Ahli ITE, Dr. Oheo Kaimuddin Haris, S.H., L.L.M., M.Sc, yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kejaksaan Negeri (Kejari) Buton, ke pihak Kepolisian Daerah (Polda) Sultra atas dugaan memberikan keterangan palsu atas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dipihak penyidik.
Hal ini disampaikannya usai menghadiri persidangan kelima Muh. Sadli, Kamis (20/02), di Pengadilan Negeri Pasarwajo, Kecamatan Pasar Wajo, Kabupaten Buton.
Ibu satu anak ini mengungkapkan Dr. Oheo di BAP-nya mengaku sebagai saksi ahli ITE, sehingga berdasarkan keterangannya tersebut Sadli dijerat dengan pasal ITE. Namun, saat dipersidangan Dr. Oheo mengatakan bahwa ia bukanlah seorang ahli ITE, melainkan ahli pidana.
“Saat persidangan keempat suami saya, Rabu (12/02) lalu, Dr. Oheo yang dalam BAP dinyatakan sebagai saksi ahli ITE mengatakan bahwa ia saksi ahli pidana. Berdasarkan keterangan yang diberikannya dalam BAP suami saya dijerat dengan pasal ITE. Untuk itu, dalam waktu dekat pihak keluarga akan melaporkan hal ini ke Polda Sultra,” tandasnya.
Dalam keterangan ke penyidik, diketahui Dr. Oheo sebagai saksi Ahli ITE menjelaskan bahwa akibat perbuatan Sadli terkait Simpang Lima Labungkari memenuhi unsur Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 UU RI nomor 19 tahun 2016 perubahan atas UU RI nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), bunyi pasal 310 ayat (1) KUHP.
Dr. Oheo menambahkan dalam keterangannya bahwa tulisan memenuhi unsur Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan argumen hukumnya disebutnya nama Samahuddin dan profesinya sebagai Bupati Buteng dapat menimbulkan rasa kebencian oleh pembaca kepada Samahuddin secara pribadi dan Pemerintah Kabupaten Buteng.
Di sisi lain, Penasehat hukum Sadli, Harun Lesse, S.H., menyatakan surat edaran Kejaksaan Agung RI Sehubungan telah disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang lnformasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Tahun 2008, terdapat beberapa hal baru yang diatur secara khusus.
Pada point kedua tentang perluasan alat bukti yang telah ditetapkan dalam KUHAP berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU lTE, lnformasi Elektronik dan Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya telah ditetapkan sebagai alat bukti hukum yang sah. Berkenaan dengan hal itu, sebelum lnformasi dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dijadikan alat bukti, harus dimintakan keterangan ahli dari Departemen Kominfo terlebih dahulu apakah informasi dan/atau dokumen elektronik tersebut menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU lTE atau tidak.
“Kenyataannya dari proses penyelidikan sampai klien kami masuk ke dalam lapas, tidak ada ahli Depkominfo yang diambil keterangannya. Ini kan janggal, bagaimana proses hukum bisa disetting sedemikian. Harusnya berpatokan dengan aturan hukum yang ada,” tutupnya.(red)