Jakarta (SL) – Sekjen Cyber Indonesia, Jack Boyd Lapian, melaporkan diksi “fiksi” soal kitab suci. Doktor linguistik Universitas Indonesia (UI), Aceng Ruhendi Syaifullah, mengulik kata “fiksi” tersebut.
Ahli Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengatakan bahwa fiksi sebetulnya untuk memberikan label terhadap sebuah objek yang merupakan produk imajinatif. “Sesuatu yang diimajinatifkan, sesuatu yang mungkin terjadi, sesuatu yang diproyeksikan atau diyakini akan terjadi itu berada pada wilayah fiksional,” ujarnya, Kamis (31/1).
Fiksi tidak ada hubungan dengan kebohongan apalagi penipuan. Karena manusia memproduksi berdasarkan sesuatu yang sudah terjadi atau disebut faktual. “Makanya ada kata mungkin, boleh jadi, barangkali, mudah-mudahan itu sesuatu yang fiksional,” ujarnya.
Aceng mencontohkan fiksi dimaksudnya seperti ajaran agama tentang alam kubur, surga, dan neraka. “Belum terjadi kan,” imbuhnya. Termasuk kitab suci juga menurutnya relevan dikatakan sebagai fiksi. “Ketika Rocky misalkan ngomong kitab suci sebuah fiksi, dari segi manusia, sebagai objeknya, itu belum terjadi, baru akan terjadi,” ucapnya.
Sedangkan fiktif itu sifatnya, mengarah sesuatu yang tidak terjadi. “Ketika orang berbicara tentang sesuatu yang terjadi padahal tidak terjadi jadinya fiktif. Nah pada fiktif itu pada sebuah khalayan saja, untuk sesuatu yang sudah terjadi ya. Kalau yang belum terjadi enggak bisa dikatakan fiktif, kan belum,” urainya lebih lanjut.
Aceng menambahkan, ketika meyakini sesuatu akan terjadi itu masuknya ranah iman, bukan lagi masalah rasionalitas atau yang bisa dipecahkan dengan akal. “Diverifikasi tidak bisa lagi dengan akal pikiran. Karena akal pikiran hanya bisa memverifikasi yang sudah terjadi,” terangnya.