Jakarta (SL)-Para dzurriyah muassis (anak cucu pendiri) Nahdlatul Ulama (NU) mulai meradang. Penyebabnya politisasi organisasi NU semakin hari semakin masif. Apalagi ada yang secara terbuka mengkampanyekan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin untuk dipilih dalam Pilpres mendatang.
Ketua NU Garis Lurus, KH Luthfi Bashori Alwi mengatakan, NU yang ada saat ini telah banyak menyimpang, terutama di tingkat struktural. Mereka secara terang-terangan berdakwah dan menyeru mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.
“Ini sudah melanggar AD/ART NU, apalagi berdakwah menggunakan fasilitas PBNU. Mereka sudah keluar dari khitthah NU,” jawab Luthfi Bashori kepada Nusantara.News, Rabu (24/10/2018).
Itulah yang melatarbelakangi digelarnya halaqah nahdliyah khitthah di Dalem Kasepuhan, PP Tebuireng, Jombang, Rabu (24/10/2018). Tujuannya, mengembalikan NU pada jalan yang benar. Jalan yang bersih dari kepentingan politik praktis. NU jangan sampai jadi alat untuk merebut kekuasaan seperti yang saat ini terang-terangan dilakukan elite NU di tingkat struktural.
Hadir dalam halaqah nahdliyah khitthah KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) sebagai sohibul bait dan KH Hasib A Wahab Chasbullah (Gus Hasib) dari PP Tambakberas. Hadir juga KH Agus Solachul A’am Wahib Wahab (Gus A’am), Gus Rozaq, KH A Wachid Muin, KH Muhammad Najih Maimoen dari Sarang, KH Abdul Zaini dari Pasuruan dan KH Abdul Hamid dari Lasem.
Ada pula KH Abdullah Muchid Pendiri IPIM (Ikatan Persaudaraan Imam Masjid Seluruh Indonesia), Prof Dr KH Ahmad Zahro, MA al-Chafidh Ketua IPIM, Drs H Choirul Anam, cucu menantu dari KH Achmad Dahlan (Pendiri Taswirul Afkar Kebondalem, Surabaya), Prof Nasihin Hasan, Prof Aminuddin Kasdi, KH Muhammad Idrus Ramli (Jember), KH Luthfi Bashori Alwi (Malang), Gus Ahmad Muzammil (Yogyakarta), Gus Mukhlas Syarkun, dan lain-lain. Sedikitnya ada sekitar 50 orang dari tokoh-tokoh NU baik kultural maupun struktural.
Disampaikan juru bicara halaqah, Choirul Anam atau Cak Anam, Rabu (24/10/2018), ada tiga keputusan penting yang diambil dari halaqah nahdliyah khitthah untuk kemudian disampaikan kepada warga NU, termasuk bagaimana menghadapi Pilpres 2019.
Pertama, anak cucu pendiri NU perlu menegaskan dan mengingatkan kembali, bahwa NU harus berdiri tegak di atas khitthah 1926.
Kedua, NU tidak ada urusan dengan partai politik mana pun, dan tidak berpihak kepada siapa pun (Capres Cawapres), termasuk dalam Pilpres 2019.
Ketiga, NU memberikan kebebasan kepada warganya untuk menyalurkan aspirasi politiknya (memilih Capres Cawapres) sesuai hati nurani yang tercantum dalam sembilan butir Pedoman Berpolitik Warga NU.
Menurut Cak Anam, perlunya kembali ke khitthah NU 1926 dikarenakan sudah banyak pelanggaran yang dilakukan secara terang-terangan atas khittah yang digulirkan pada Muktamar ke-27 NU 1983 di Situbondo. Termasuk bagaimana Pengurus Besar NU (PBNU) yang sudah terperosok ke dalam politik praktis kekuasaan.
“Ini menjadi pertimbangan dibentuknya Komite Khitthah, dan akan terus berlanjut sampai NU benar-benar kembali ke khitthah 1926 sebagaimana diputuskan para masyayikh terdahulu,” terang Cak Anam.
Terkait dengan majunya KH Ma’ruf Amin yang merupakan mantan Rais Aam PBNU sebagai Cawapres mendampingi Cawapres Joko Widodo, menurut Cak Anam tidak ada keharusan bagi warga Nahdiyin untuk mendukungnya. Pasalnya, majunya Ma’ruf Amin tersebut merupakan keputusan pribadi bukan keputusan NU.
“Warga NU perlu tahu, bahwa itu bukan keputusan NU, karena tidak ada sejarahnya Rais Aam PBNU kemudian ‘putar haluan’ melepas baiat untuk menjadi Cawapres,” pungkasnya.
NU terlibat politik praktis tidak wajib ditaati
Khitthah NU 1926 selama ini memang menjadi landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap pengambilan keputusan.
Banyaknya pelanggaran di tubuh NU belakangan ini, baik di tingkat struktural maupun kultural, membuat anak cucu pendiri NU menyerukan ke khittah 1926.
Ketua NU Garis Lurus, KH Luthfi Bashori Alwi mendukung halaqah nahdliyah khitthah yang telah menyepakati tiga poin. Menurut dia, keputusan tersebut harus benar-benar ditegakkan oleh warga NU. “Kita harus kembali ke khitthah NU 1926, tidak bisa tidak,” jelasnya.
Luthfi Bashori membeberkan tujuh poin hasil diskusi dengan Komunitas Garis Lurus terkait NU kembali ke khitthah.
Pertama, sudah banyak pengikut aliran atau paham atau perilaku sesat yang ternyata dilindungi oleh PBNU, seperti kasus Ahok penghina Almaidah-51. Di saat ia mendapat perlawanan dari umat Islam, ternyata hanya PBNU yang membela Ahok. “Di sini kami merasa prihatin,” tegas Luthfi Bashori.
Tidak hanya kasus Ahok, PBNU selama ini juga selalu nyinyir kepada masyarakat terutama umat Islam terkait keberadaan aliran sesat liberalisme yang tumbuh subur di kalangan pengurus NU. Seperti keberadaan aliran Syiah di Indonesia. Syiah di era Said Aqil Siradj (SAS) malah mendapat dukungan dukungan dari PBNU.
Padahal di jaman KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU), visi dan misi PBNU adalah memberantas aliran sesat, sedangkan saat ini terkesan menjadi pelindung aliran sesat.
Kedua, Gerakan NU Khitthah menerbitkan ulang secara resmi tulisan Qonun Asasi NU (Arab & terjemahan), serta Risalah Aswaja karya Mbah Hasyim (Arab & terjemahan) untuk menghindari banyaknya upaya pemalsuan yang dilakukan oleh tangan-tangan liberal. Selama ini mereka sengaja dan berambisi ingin membelokkan dari makna yang sesungguhnya, hingga warga NU menjauh dari ajaran asli para pendiri NU.
Ketiga, mengajak warga NU agar kembali ke Khitthah Aqidah Aswaja sesuai ajaran para ulama salaf dan tidak tergiur dengan pemikiran-pemikiran baru yang bertentangan dengan ajaran para pendiri NU, di samping berupaya mengembalikan visi dan misi keorganisasian NU kepada Khitthah 1926.
Keempat, Memohon kepada para ulama sesepuh NU untuk bersedia menata ulang eksistensi Banom NU, seperti aktifitas Banser yang sering menjaga gereja. Pasalnya bukan seperti itu Banser dibentuk.
Termasuk, kasus terbaru dan menjadi sorotan dunia Islam, anggota Banser membakar bendera berkalimat tauhid hingga umat Islam marah bahkan warga negara Suriah, Presiden Turki Erdogan, dan lain-lain ikut mengecam aksi pembakaran tersebut. Sementara pimpinan Ansor serta beberapa tokoh Struktur NU malah mencari pembenaran atas ulahnya.
Hal ini membuat masyarakat awam bertanya-tanya, apakah tidak ada sesepuh NU yang berani mengingatkan mereka. NU Seperti dibuat ‘mainan’.
Kelima, gerakan PKPNU (Pendidikan Kader Pergerakan NU) membuat prihatin, sebab hanya dijadikan sebagai alat liberalisasi dan politisasi pemikiran tokoh/kader muda NU.
Keenam, hendaklah NU memfasilitasi dan merangkul mayoritas para alumni Timur Tengah (Makkah, Madinah, Yaman, Mesir, Maroko, dan lain-lain) yang beraqidah dan berpaham masih lurus sesuai ajaran KH Hasyim Asy’ari, karena KH Hasyim Asy’ari juga alumni Timur Tengah yang beraqidah lurus.
Mereka itu hakikatnya adalah aset NU, namun selama ini tidak diwadahi oleh pengurus NU secara baik dan benar. Karena itu mereka kemudian bergerak sendiri-sendiri, sekalipun mereka itu berasal dari keturunan tokoh-tokoh NU.
Ketujuh, poin terakhir ini sesuai dengan hasil musyawarah intern para aktifis Komunitas Garis Lurus yang telah bersepakat pada Pilpres 2019 akan mendukung pasangan Prabowo-Sandi.
Khusus poin terakhirnya ini, Luthfi Bashori menyebut pihaknya tidak melanggar AD/ART NU. Mengapa demikian, karena tidak disampaikan dalam bentuk dakwah dengan menggunakan fasilitas PBNU.
“Ini adalah uneg-uneg Komunitas Garis Lurus, ide teman-teman soal pemimpin. Tidak mewakili NU. Tidak menggunakan fasilitas PBNU. Saya yang bertanggungjawab. Ini sebagai pembanding dengan yang disampaikan elite NU di struktural. Tidak ada pelanggaran AD/ART,” sindir Luthfi Bashori.
Harapan Luthfi Bashori, dengan NU kembali ke khitthah, masyarakat kini tidak perlu takut untuk memilih calon yang berbeda.
“Selama PBNU menganjurkan hal yang salah untuk memilih calon pemimpin, itu sudah melanggar AD/ART. Dan warga NU tidak wajib untuk mentaatinya. Ini juga berlaku bagi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) agar tidak menyeret-nyeret warga NU ke ranah politik praktis” tegasnya.
Seruan kembali ke khitthah NU 1926
Seruan NU kembali ke khitthah sebenarnya pernah muncul pada tahun 1971. Kala itu Ketua Umum PBNU KH Muhammad Dahlan menilai langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran secara historis. Pendapat Kiai Muhammad Dahlan itu coba ditengahi oleh Rais Aam KH Abdul Wahab Chasbullah bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah.
NU sendiri pada 1952 memutuskan menjadi partai. Hal ini turut mendegradasi peran dan perjuangan luhur organisasi karena fokus lebih ke arah politik praktis. Dalam prosesnya, keputusan menjadi partai juga memicu silang pendapat karena setelah menjadi partai pada 1952 juga banyak dari kalangan kiai yang mengusulkan kembali ke khitthah.
Namun demikian, seruan kembali ke khitthah tahun 1971 sempat terhenti. Gema seruan kembali muncul pada tahun 1979 ketika diselenggarakan Muktamar ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah.
Seperti seruan sebelumnya, usulan untuk kembali menjadi jami’iyah diniyyah ijtima’iyah dalam Muktamar tersebut juga terhenti. Apalagi NU sedang giat-giatnya memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP. Namun pada praktiknya, kelompok kritis dari kalangan NU mengalami penggusuran sehingga menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut.
Dilansir nu.or.id, misi kembali ke khitthah kembali nyaring ketika para ulama berkeliling mengonsolidasikan NU. Bersamaan dengan langkah para kiai tersebut, KH Achmad Siddiq menyusun tulisan komprehensif yang berisi tentang pokok-pokok pikiran tentang pemulihan Khittah NU 1926. Tulisan ini dirembug secara terbatas dengan para ulama sepuh di kediaman KH Masykur di Jakarta.
Naskah yang ditulis oleh KH Achmad Siddiq itu mendapat sambutan dan penghargaan luar biasa karena menjadi konsep dasar kembali ke khitthah saat diselenggarakannya Munas NU tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur.
Setahun sebelumnya digelarnya Muktamar ke-27 NU di tempat yang sama, Pesantren Salafiyah Sayafi’iyah Situbondo. Kemudian naskah ini menjadi dokumen resmi Munas sebagai dasar merumuskan Khitthah Nahdliyah.
KH Achmad Siddiq menegaskan bahwa Khitthah NU tidak dirumuskan berdasarkan teori yang ada, tetapi berdasarkan pengalaman yang sudah berjalan di NU selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Tujuan kembali ke khitthah juga selain mengembalikan organisasi pada rel awal pendirian organisasi, kepentingan bangsa dalam setiap keputusan organisasi juga dijunjung tinggi karena pokok pikiran dalam rumusan khittah memuat unsur keagamaan, sosial-kemasyarakatan, kebangsaan, kepemimpinan ulama, dan keindonesiaan.
Naskah Khitthah Nahdliyah KH Achmad Siddiq kemudian dioperasionalkan dan merumuskan perangkat kelembagaan yang dilakukan oleh para aktivis NU di antaranya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).
Bersama para aktivis lain macam H Mahbub Djunaidi, Fahmi D. Saifuddin, dan lain-lain, Gus Dur dan Gus Mus juga merumuskan naskah hubungan Islam dengan Pancasila pada momen Munas NU 1983 di Situbondo itu yang bersumber dari pemikiran dan pandangan KH Achmad Siddiq dan para kiai sepuh lain.
Menurut kesaksian Gus Mus, gagasan kembali ke khitthah 1926 baru bisa diputuskan berkat pikiran-pikiran brilian sekaligus pribadi-pribadi bersih penuh kharisma dari kedua tokoh besar, KH Achmad Siddiq dan Gus Dur.
Pandangan kebangsaan kedua tokoh tersebut dan didukung oleh para kiai lain sehingga mampu membawa NU ke rel yang sesungguhnya. Bagi NU yang sudah kembali menjadi organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan ini, politik hanya instrumen mencapai tujuan kemaslahatan bangsa dan negara. Adapun politik yang dipraktikkan NU secara struktural adalah politik kebangsaan, politik keumatan, politik kerakyatan, dan politik yang penuh dengan etika, bukan politik praktis yang berorientasi kekuasaan semata dengan menghalalkan semua cara.
Kini seruan kembali ke khitthah NU 1926 dimunculkan lagi. Kali ini seruan disampaikan anak cucu pendiri NU yang melihat banyak kepentingan umat telah dibawa melenceng oleh para elite NU menuju politik kekuasaan. (nusantaranews)