Bengkulu (SL) – Kopi merupakan komiditas unggulan yang ada di Provinsi Bengkulu, Topografi Provinsi Bengkulu yang dikelilingi Bukit Barisan menjadikannya sebagai Surga Kopi. Berdasarkan data Ditjen Perkebunan Kementrian Pertanian Republik Indonesia Tahun 2017, luas kebun kopi Provinsi Bengkulu yang dikuasai oleh petani mencapai 90.65174 hektar dan menghasilkan Produksi kopi mencapai 56.817 Ton per tahun, sehingga setiap petani kopi di Provinsi Bengkulu menguasai 1,3 Hektar dengan menghasilkan 735 Kilo gram, hal ini disampaikan oleh Manager Kampanye Industri Ekstraktif Walhi Bengkulu Dede Frastien, Senin (24/9/2018).
Dede menjelaskan, Pemerintah Provinsi Bengkulu sedang semangat-semangatnya mendorong Provinsi Bengkulu sebagai surga kopi, namun hal ini tidak akan pernah terjadi apabila beberapa permasalahan terhadap laju pertumbuhan kopi di dataran tinggi yang terus diganggu oleh aktivitas Industri Ekstraktif yakni pertambangan batu bara, dan kedepan cita-cita pemerintah Provinsi Bengkulu untuk menjadikan Bengkulu sebagai surga kopi akan menjadi wacana belaka.
“96 persen kopi Bengkulu merupakan kopi Robusta yang tumbuh di dataran tinggi di beberapa Kabupaten yang ada di Provinsi Bengkulu, seperti Kepahiang, Bengkulu Tengah, Rejang Lebong, Bengkulu Selatan, Kaur dan Lebong, daerah tersebut merupakan wilayah Penghasil kopi terbesar di Bengkulu, namun di balik itu ada fakta yang memprihatinkan. Gangguan pertambangan batu bara pada dataran tinggi adalah penghambat laju pertumbuhan kopi serta merusak bentang alam sekitar termasuk perkebunan kopi milik masyarakat. Apabila ditarik lebih luas dampak aktivitas Pertambangan Batubara di dalam kawasan hutan serta yang berada pada kawasan produktif pertumbuhan kopi memberi dampak negatif bagi pertumbuhan kopi masyarakat dan kawasan hutan,” jelas Dede.
Pertambangan Batubara, lanjut Dede, yang terdapat di dalam kawasan Hutan dan dataran tinggi sangat masif memberikan dampak negatif terhadap pengrusakan lingkungan khususnya kawasan Hutan dan wilayah Kelola mayarakat berupa kebun Kopi masyarakat. Terkait hal ini seharusnya pemerintah Provinsi Bengkulu sadar bahwa berdasarkan penelitian tahun 2011 puncak batu bara di Provinsi Bengkulu ini sudah lewat.
Jadi batubara di Provinsi Bengkulu sudah merupakan masa lalu dan apabila pemerintah Provinsi Bengkulu tetap memberikan izin pertambangan dengan harapan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan untuk upaya perentas kemiskinan maka hal tersebut tidak akan terwujud, namun akan sebaliknya perentasan kemiskinan tidak akan terjadi di Provinsi Bengkulu apabila pertambangan batubara tersebut terus memberikan kontribusi terhadap kerusakan lingkungan yang berdampak kepada wilayah kelola rakyat.
Namun apabila lahan pertambangan tersebut di distribusikan kepada masyarakat petani kopi untuk mendorong melakukan agroferestri maka hal tersbutlah yang menjadi solusi dari perentasan kemiskinan di Provinsi Bengkulu, karena agroforestry memberikan dampak bukan hanya bagi ekonomi masyarakat namun juga bagi ekologi.
“Penyelamatan Rimba terakhir melalui konsep wilayah kelola rakyat dari hasil investigasi Walhi terdapat 8 Perusahan pertambangan Batubara di Provinsi Bengkulu yang berada dalam kawasan hutan, melalui sekema Perizinan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan Perjanjian Kerjasama (PKS), kedelapan perusahan pertambangan tersebut memberikan dampak negatif terhadap laju kerusakan kawasan hutan dan kerusakan wilayah kelola rakyat yang berdekatan dengan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Batubara tersebut.”
“Selain itu, kontribusi terhadap bencana ekologis dan perubahan iklim sudah dirasakan oleh sekian banyak masyarakat Provinsi Bengkulu akibat dari eksploitasi Batubara yang dilakukan oleh 8 Pertambangan batu bara tersebut. Luas kawasan hutan di Provinsi Bengkulu adalah seluas ±924.631 hektar. Dari luas keseluruhan hutan di Provinsi Bengkulu, 80 persen dalam kondisi kritis. Laju kerusakan kawasan hutan terus terjadi yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti penebangan liar (Ilegal logging), lemahnya pengendalian dan pengawasan terhadap operasionalisasi sistem perizinan dalam pengelolaan kawasan hutan, dan untuk kepentingan non kehutanan lainnya (Pertambangan). Semua itu tidak dapat dipungkiri dab telah menyebabkan terjadinya kerusakan dan kehancuran terhadap sumber daya hutan. Selain itu, rusaknya kawasan hutan menjadi penyebab dampak lanjutan terjadinya Perubahan Iklim dan bencana Ekologis. Untuk menyelamatkan kawasan Hutan yang telah kritis tersebut maka pemerintah Provinsi Bengkulu perlu melakukan moratorium perizinan Pertambangan dalam Kawasan Hutan,” ungkap Dede.
Lebih dalam di jelaskan Dede, Walhi Bengkulu melalaui Konsep Wilayah Kelola Rakyat (WKR), mengedepankan 4 pilar diantaranya, Tata kuasa, Tata kelola, Tata produksi dan Tata konsumsi, yang merupakan salah satu usaha untuk mendorong masyarakat agar melakukan pengelolaan lahan pertanian dengan cara agroforestry selain akan berdampak terhadap perekonomian, Agroforestry akan mampu mengembalikan fungsi kawasan hutan dari tingkat kekeritisan dan memberikan perlawanan terhadap perubahan iklim serta bencana ekologis.
“Pemerintah Provinsi Bengkulu menargetkan akan melegalkan 152.134 Hektar lahan pertanian masyarakat dalam kawasan hutan melalui skema perhutanan sosial, hal tersebut sejalan dengan konsep Tata Kuasa yang sedang di dorong Walhi, selanjutnya Tata Kelola yang dilakukan oleh kelompok tani hutan yang telah dilegalkan melalui Perhutanan Sosial tersebut dilakukan dengan cara Agroforestry, selain akan berdampak terhadap perentasan kemiskinan juga akan berdampak kepada penyelamatan kawasan hutan yang saat ini sedang dalam kondisi kritis mencapai angka 80 persen, sehingga konsep Tata kelola melalui Agroforestry merupakan resolusi untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lingkungan,” tegas Dede.
Ditambahkan Dede, setelah masyarakat mampu mengelola Lahan pertanian melalui agroforestry maka masayrakat akan mampu memproduksi hasil pertanian tersebut, maka walhi mendorong Tata Produksi dimana masyarakat akan mengelola dan memasarkan sendiri hasil pertanian dalam hal ini Kopi kepasaran tanpa harus menjual kepada Tengkulak. Sehingga harga dari kopi yang biasanya dijual masyarakat kepada tengkulak dengan harga rendah harapannnya dapat naik 3x lipat setelah di Produksi, maka hal itu adalah bentuk peretas kemiskinan.
Langkah konkrit yang dibangun Walhi Bengkulu dalam mendorong konsep wilayah kelola rakyat
adalah Festival Kopi Rakyat yang akan diadakan akhir Bulan Agustus 2019 mendatang, dengan harapan masyarakat dapat memasarkan dan memperkenalkan hasil produksi kopi masyarakat yang berbasis lingkungan.
“Seharusnya Pemerintah Provinsi Bengkulu perlu sadar bahwa Pertambangan Batu bara tidak memberikan kontribusi Positif terhadap PAD dan kesejahteraan bagi masyarakat, namun malah sebaliknya hanya akan memberikan dampak negative yang sangat berpengaruh terhadap menurunnya kesejahteraan masyarakat dan rusaknya kawasan hutan di Provinsi Bengkulu, sehingga diperlukannya Resolusi untuk meretas kemiskinan dan menyelamatkan kawasan hutan dari deforestasi dan degradasi serta perubahan iklim dan bencana ekologis. Konsep Wilayah Kelola Rakyat dan 4 pilar yang terkandung didalamnya mampu meberikan sedikit pencerahan bagi penyelamatan kawasan hutan dan Peretasan kemiskinan di Provinsi Bengkulu,” demikian Dede.