Bandarlampung (SL)-Kirim sabitmu dan menyabitlah, sebab waktu menyabit telah sampai. (Mr. C. van Vollehoven, 1847 – 1891), kalimat itu menjadi pemicu sekelompok anak bangsa di Lampung, yang kemudian menuangkap persoalan Lahan SGC kedalam buku.
Yusdiyanto, salah seorang penulis buku mengatakan bahwa Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, bahwa apa saja yang ada di bumi dan segala yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan negara dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Pasal 1 ayat (3) UUPA disebutkan “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) adalah hubungan yang bersifat abadi”.
Menurutnya, Hubungan yang bersifat abadi artinya hubungan bangsa Indonesia bukan hanya dalam generasi sekarang saja tetapi generasi seterusnya. Oleh karena itu sumber daya alam harus dijaga jangan sampai dirusak atau ditelantarkan. Untuk itu, penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya perlu diatur agar terjamin kepastian hukum dalam penguasaan dan pemanfaatannya serta sekaligus terselenggara perlindungan hukum bagi rakyat, terutama bagi golongan petani dengan tetap mempertahankan kelestarian kemampuannya dalam mendukung kegiatan pembangunan yang berkelanjutan.
Secara umum, konflik agraria dimulai dari keluarnya surat keputusan pejabat publik, termasuk Menteri Kehutanan (sekarang Kemen LHK), Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), Kepala BPN (sekarang Kemen ATR/BPN), gubernur, dan bupati, yang memberikan izin atau hak pada badan usaha atau instansi pemerintah/swasta tertentu untuk menguasai suatu bidang lahan yang di atasnya terdapat hak atas tanah/lahan atau akses masyarakat lokal atas sumber daya alam yang sebagian besar ada di wilayah pedesaan.
Belum lagi, katanya adanya keberanian pejabat publik dengan bekerjasama dengan pihak perusahaan dan aparat keamanan mengeksekusi tanah rakyat, sumber daya alam, dan wilayah yang dikelolanya. Terkesan, selama ini kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terasa inkonsisten, cenderung menguntungkan pengusaha, ambivalen antara satu kebijakan dengan yang lain dan peraturan yang tumpang tindih.
Penanganan masalah tanah yang kurang serius dan bijaksana oleh pemerintah, dapat berakibat fatal terkadang menjurus kearah yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan masyarakat.
Adanya ketimpangan penguasaan tanah yang tidak seimbang khususnya pada tanah perkebunan sementara rakyat dihadapkan dengan keterdesakan atas kebutuhan kehidupan akhirnya memicu terjadinya pendudukan (ocupatie) tanah perkebunan dimana Hak Guna Usaha (HGU) belum berakhir, oleh masyarakat tanpa seijin pemegang hak atas tanah.
Sebagaimana teriakan masyarakat di Kawasan Perkebunan Sugar Group Companies yang berada di Kabupaten Tulang Bawang dan Kabupaten Lampung Tengah. Dimana masyarakat disekitar HGU perkebunan menganggab pembebasan lahan dilaksanakan dengan pendekatan rezim kekuasaan, pengawalan oleh aparat keamanan negara, melanggar rencana tata ruang wilayah, melenyapkan wilayah konservasi dan merampas hak ulayat masyarakat, hal itu tentu menambah ketidak-adilan dan merugikan rakyat setempat. Dari penelusuran penulis, masyarakat telah memperjuangkan haknya melalui pintu eksekutif (pemerintah), legislative dan peradilan.
Namun apa yang terjadi semuanya belum membuahkan hasil yang memuaskan masyarakat.
Dari hasil penelusuran yang dilakukan, ada beberapa data yang diperoleh konflik perkebunan ini yaitu pengakuan dari Rukhyat Kusumayuda, mantan Tenaga Ahli Pemerintah Propinsi Lampung Bidang Pemerintahan Hukum dan Pertanahan. Menyampaikan sesuai tugas yang diemban melaksanakan pembebasan tanah untuk perkebunan tebu dan pabrik gula PT. Sweet Indolampung (sekarang telah menjadi Sugar Group Companies) terdiri dari 4 PT sesuai dengan izin lokasi ±134.000 ha termasuk ±28.000 Ha tanah hutan kawasan Reg. 47.
Lalu penolakan kelompok masyarakat adat yang dipelopori oleh A. SYUKRI ISA, SE. Ak yang mengatasnamakan Forum Komunikasi Komunitas Masyarakat Hukum Adat Gedung Meneng Dan Teladas Kecamatan Gedung Meneng, Kabupaten Tulang Bawang atas koptasi lahan oleh Sugar Grooup Campanies yang dilakukan oleh anak peruhaan PT. Sweet Indolampung (SIL), PT. Indolampung Perkasa (ILP), PT. Indolampung Cahaya Makmur (ILCM), dan tuntutan Pelanggaran Penerbitan Sertifikat Hak Guna Usaha atas Tanah Ulayat dan Tanah KHP. Way Terusan Register 47 Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung yang diambil paksa oleh Sugar Group Companies melalui anak perusahaan PT. Garuda Panca Artha dan PT. Mulia Kasih Sejati (MKS).
Termasuk perjuangan masyarakat yang dikuasakan kepada Hi. Muhammad Adam (Suttan Pemimpin Suttan), yang bertindak selaku kuasa untuk dan atas nama Masyarakat Adat Kampung Mataram Ilir Kecamatan Seputih Surabaya Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung. Menyampaikan bahwa masyarakat adat memiliki sebidang tanah adat/hak ulayat, yang belum terdaftar seluas lebih kurang 822 hektar yang dikenal dengan Umbul Bunuk Minyak dan Umbul Sungai Sari, yang terletak di tepi Way Terusan Kecamatan Bandar Mataram Kabupaten Lampung Tengah.
Lalu hasil pansus Lahan SGC DPRD Tulang Bawang diketahui adanya dugaan pelanggaran tataruang di Kabupaten Tulang Bawang, pelanggaran terhadap lahan perlindungan/ konsevasi lahan basah Rawa Bakung yang masuk ke dalam wilayah HGU, HGU yang ditelantarkan, dan terindikasi tumpang-tindih penguasaan lahan.
Adanya konflik yang telah menahun inilah, yang kemudian mendorong penulis untuk melakukan penyusunan buku yang berangkat dari perjuangan masyarakat. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengungkapkan fenomena historis dari permasalahan sengketa tanah yang seolah-olah tidak pernah terselesaikan. Sehingga menghasilkan suatu kebijakan yang berguna untuk penataan kembali struktur penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan tanah. secara umum agar tujuan dari adanya investasi perkebunan khususnya tebu dapat mendatangkan kesejahteraan baik bagi masyarakat setempat dan mengatasi ketimpangan sosial dimasyarakat.
Kegunaan penulisan ini dari segi teoritis penulisan diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran dan melengkapi data-data serta memperkaya bahan-bahan penelitian yang sudah ada terkait perjuangan rakyat khususnya koptasi lahan melalui izin HGU Perkebunan. Manfaat dari segi praktis dari penulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran dalam hal pengambilan kebijakan oleh pihak legilasti dan eksekutif. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan socio-legal. Melalui peelusuran gugatan masyarakat di sekitar Sugar Group Companies (SGC), rangkaian kegiatan dimulai dengan pengumpulan data, pengumpulan, dokumentasi dan verifikasidata dan pengelohan data.
Untuk itu skema penulisan dalam buku ini adalah:
A. Pendahuluan
B. Tinjauan Konseptual
C. Profil Perusahaan
D. Pansus DPRD HGU Sugar Group Companies
E. Perjuangan Rakyat
1. Kronologi Pembebasan Lahan HGU SGC Cacat Hukum
2. Perjuangan Forum Komunikasi Komunitas Masyarakat Hukum Adat
3. Kronologis Tuntutan Masyarakat Hukum Adat Atas Ganti Rugi Tanah Adat (Ulayat) & Tanah Eks. Khp. Register 47 Way Terusan.
4. Perjuangan Masyarakat Adat Kampung Mataram Ilir.
5. Perjuangan Ganti Rugi Tanah Ulayat Keluarga Sanggem + 300 Ha
F. Pendapat Para Stakeholder
1. Konflik Tanah Di Lampung – Upaya Menuju Pembaruan Hukum Tanah. Oleh: I Gede AB Wiranata.
2. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Pertanahan.
Oleh: Eddy Rifai
3. Mengungkap Perjuangan Rakyat di Kawasan Kebun Tebu.
Oleh: Dr. Dedy Hermawan
4. Dari Konflik Agraria Ke Transformasi Industri Perkebunan.
Oleh: Iwan Nurdin
5. Sejarah dan Konflik Sugar Group Companies
Oleh: Darmawan Purba
6. Catatan Akhir: Korporasi (SGC) Pemicu Ke (tidak) adilan sosial Oleh: Yusdiyanto
Terakhir, penulis mengucapkan rasa bersyukur karena kajian ini sudah berahasil dibukukan, atas sumbang dan saran semua pihak penulis sangat mengucapkan banyak terimakasih. Disampin itu masukan dan saran dalam penulisan buku sangatlah diperlukan demi penulisan buku ini selanjutnya, karena penulis mengganggab masih banyak kekukurangan dan masih cukup premature.
Sikap hidup royal para elite negeri jangan sampai harus dibayar oleh penderitaan rakyat, (Bung Hatta, 1965). (Rls)