Bandarlampung – Kepala BPN Provinsi Lampung diduga kuat melakukan mark up jumlah warga penerima dana ganti rugi pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS). Pasalnya, dalam laporan surat bernomor 25/10-18/P2T/V/2017, tanggal 31 Mei 2017 ditandatangani Kepala Kantor BPN Provinsi Lampung, Sarkim, SH.,MM kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional di Jakarta menyebutkan ganti rugi tanah di Desa Tanjungsari, Kecamatan Natar seluas 498.634 haktar.
Kepala BPN Provinsi Lampung melaporkan jumlah warga penerima dana ganti rugi di Desa Tanjungsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan sebanyak 337 orang. Padahal, berdasarkan daftar bidang tanah yang terkena jalur Tol di Desa Tanjungsari sebanyak 267 orang, sehingga terdapat kelebihan sebanyak 70 orang.
Suroyo, warga setempat mengatakan dengan mark up nya laporan yang dibuat Kepala BPN Provinsi Lampung ke Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional di Jakarta semain terkuak dugaan mainan yang dilakukan oknum panitia JTTS. “Bagaimana data penerima ganti rugi mau valid, kalau jumlah warga yang menerima saja selisih. Sampai kapanpun tidak akan valid. Ini menjadi salah satu penyebab proses ganti rugi menjadi terhambat. Jadi yang menghambat bukan warga,” tegas Suroyo, belum lama ini.
Untuk itulah dia meminta kepada Tim Panitia agar mengumpulkan warga yang terkena dampat pembangunan Jalan Tol. “Kami minta panitia JTTS disaksikan Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo mengumpulkan warga dan diabsen satu persatu. Jadi sebanyak 70 warga, sebagaimana laporan Kepala BPN Lampung akan ketahuan siapa orangnya,” katanya Suroyo, ditulis harianpilar.com.
Semantara warga lainnya, Jarwo mengatakan dengan adanya kelebihan warga penerima dana tanam bumbuh dan bangunan JTTS di Desa Tanjungsari menunjukkan lemahnya managemen panitia. “Ini menunjukkan lemah dan carut marutnya menageman panitia JTTS,” katanya.
Ketua Badan Peneliti Aset Negara Aliansi Indonesia Provinsi Lampung, Mistorani, meminta kepada panitia JTTS untuk menunjukan 70 warga sebagaimana laporan Kepala BPN Lampung ke Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional di Jakarta. “Ini menunjukan adanya dugaan mainan panitia JTTS,” tegas dia.
Lebih lanjut Mistorani mengungkapkan kalau setiap warga memiliki lahan seluas 10.000 meter atau 1 hektar dikalikan 70 warga, sebanyak 700.000 meter. “Nah, berapa dana yang hilang,” tukasnya.
Untuk mengungkap borok panitia JTTS, pihaknya berkoordinasi dengan Nawacita di Jakarta. “Setiap saat kami selalu berkoordinasi dengan Nawacita di Jakarta,” kata Mistorani, Selasa (7/11/2017).
Rencananya, dalam waktu dekat pihaknya akan melaporkan permasalahan tersebut ke Polda Lampung. Ganti rugi tanah pembangunan JTTS diduga kuat sarat mainan. Hal itu terlihat mulai dari banyaknya lahan yang mendapat dua nilai ganti rugi, hingga tidak di berikannya rincian ganti rugi kepada masyarakat.
Mistorani mencontohkan, warga bernama Slamet Saputra hanya memiliki satu lahan. Namun, mendapat dua nilai ganti rugi yakni dengan kode 8.95/9 dengan dana ganti rugi sebesar Rp107.082.131 dan dengan kode 2207 sebesar Rp423.391.792.238. “Padahal Slamet Saputra hanya memiliki satu bidang rumah yang berdiri diatas tanah pekarangan miliknya. Anehnya, warga disuruh membuat pernyataan diatas kertas bermaterai 6000 oleh Kepala Dusun 6 Reformasi Desa Tanjung Sari, Lasiman,” terangnya.
Surat pernyataan Slamet Saputra tertanggal 29 April 2017 itu menyatakan bahawa dirinya hanya memiliki satu rumah. Padahal, dalam lembar nominative milik Slamet Saputra terdapat dua besaran angka ganti rugi yang nilainya berbeda-beda itu.
Hal serupa juga di alami warga lainnya yakni Martini yang memperoleh dua nilai ganti rugi yakni dengan dengan kode 173/26/30 sebesar Rp120.319.229 dan kode 128/217/29 dan angka yang berbeda sebesar Rp69.954.000. Padahal Martini hanya memiliki satu rumah,”Namun dua disuruh membuat pernyataan dua kali, pada tanggal 1 Mei 2017 dan tangggal 29 April 2017.
Semua isi surat pernyataan sama, agar warga mengaku memiliki satu rumah, padahal pada angka nominative tertulis dua nilai yang besarnya berbeda-beda. Ini luar biasa memang,” kata Mistorani.
Kemudian, Ngaliman mempunyai tanah ladang seluas 5.000 meter, Robangi mengaku membuatkan surat tanah sporadic seluas 27.665 meter atas perintah oknum penitia JTTS. “Saya membuat surat sporadic tanah milik Ngaliman seluas 5.000 meter menjadi 27.665 meter atas perintah oknum penitia JTTS. Saya punya bukti kopelan kertas kecil dari panitia JTTS ko,” tegasnya, melalui telepon selulernya, Jumat (3/11/2017).
Surat bernomor 033/017/VII.0I.08/IV/2017, tanggal 5 April 2017 ditandatangai Kepala Desa Tanjungsari Robangi, S.Ag. Sehingga, Ngaliman mendapatkan dana ganti rugi sebesar Rp3.156.172.395 miliar, rinciannya; tanah Rp2.765.500.000, bangunan Rp2.689.987, tanaman Rp326,000, Masa Tunggu Rp221.563.000, B. Transisi Rp166.091.399. Padahal, tanah milik Ngaliman sudah dibeli Hi. A. Suyatni, warga Desa Rukti Endah, Kecamatan Seputih Rahman, Lampung Tengah seluas 3.600 meter atau sembilan rantai, sehigga tanah Ngaliman hanya tersisa hanya 1.400 meter. Kepala Kantor BPN Provinsi Lampung, Sarkim, SH.,MM sampai berita ini diturunkan belum berhasil dikonrmasi. (mrd/hpr/nt/jun)
sumber : harianpilar.com