Bogor (SL)-Politik uang dan isu Sara diperkirakan masih akan mewarnai kontestasi pemilihan umum 2019. Untuk itu masyarakat harus sadar bahwa politik uang bukanlah sebuah berkah dalam perhelatan Pemilu, tapi merupakan aib. Dan akan menghasilkan pemimpin yang tidak baik dari gaya transaksional.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan, mengatakan sangat sulit menghapus praktik politik uang ketika cara berpikir politisi masih transaksional. Idealnya, pemilu merupakan mekanisme pemilihan oleh publik untuk memilih pejabat publik dengan melihat aspek visi dan misi program, untuk menjawab persoalan-persoalan publik.
“Tetapi, akibat politik uang, relasi keterpilihan bukan didasari atas ideal. Tetapi, bergeser ke arah nilai transaksional dalam pemilu/pilkada,” katanya dalam diskusi bertema ‘Kewenangan Baru Bawaslu dan Tantangan Pemilu Serentak’’ di Bogor, Jawa Barat, Jumat (13/10/2017).
Abdullah mengajak masyarakat untuk sadar bahwa politik uang bukanlah sebuah berkah dalam perhelatan pemilu. Jangan sampai, kata dia, hanya gara-gara uang Rp 25.000, Rp 50.000 atau Rp 100.000, masyarakat tidak memperoleh pemimpin yang baik. “Politik uang bukan berkah dalam pemilu, tetapi aib dalam pemilu,” kata dia.
Meskipun sekarang ini praktik politik uang bermetamorfosa ke dalam modus yang beragam, namun menurut Abdullah sama saja. Intinya, bertujuan untuk memengaruhi pilihan masyarakat. Masyarakat juga harus sadar modus-modus baru politik uang. Dari yang mulanya hanya konvensional, atau langsung memberikan uang, berubah menjadi pemberian barang atau jasa.
“Modus untuk menghindari dikatakan politik uang, misalnya dengan kupon Rp5 ribu bisa membeli sembako seharga Rp30 ribu. Masyarakat juga tidak bakal mau dikatakan menerima politik uang. Karena mereka merasa membeli,” kata Abdullah yang mengingatkan masyarakat untuk mawas terhadap kandidat-kandidat yang berprinsip “menanam cepat, memanen cepat”.
Idealnya, kata dia, apabila kelembagaannya partai politik berjalan dengan baik maka seharusnya muncul figur-figur yang betul-betul diinginkan oleh publik. Identitas parpol pun menjadi kuat di masyarakat. “Parpol jangan hadir saat mau pemilu saja, tetapi melaksanakan kerja-kerja politik yang kontinu. Sehingga tidak terjadi stigma: ingin nanam cepat, manen cepat,” ujar Abdullah. (tri/nt/jun/kom)