Bandarlampung (SL)-Sekretaris Jenderal Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat, Firdaus mengatakan, revolusi itu selalu memakan korban, namun nanti akan menandai siapa pahlawan dan siapa korban. Hal itu juga yang harus terjadi dalam perkembangan bisnis media, terutama media online.
“Tergantung kita menandai, begitu juga pada masalah yang menjebak, pengusaha itu menangkap peluang di revolusi industri. Bagaimana kita tidak terjebak, namun melompati itu,” kata Firdaus, saat menjadi pembicara pada Workshop Verifikasi Media Siber, SMSI Lampung, di Bandarlampung, Selasa (29/08/2017).
Ketua PWI Provinsi Banten ini menceritakan, saat merantau ke Jawa menjadi Ketua PWI berkat gagasan dan mampu melompat dari revolusi. “Ketika kita jadi personal, kita bukan siapa-siapa. Kalo sekarang ada 10 orang pemilik media online bisa konsisten, bisa menentukan siapa gubernurnya atau pemenang Pilgub. Teganntung Bagaimana memposisikan kita,” katanya, yang dipandu moderator Juniardi
Komisaris RMOL.com Lampung dan Banten ini menjelaskan media siber tidak lepas dari survey, tidak melulu hanya mendapatkan iklan (income). Karenanya harus berbagai peran, bagaimana menciptakan sistem yang berkaitan.
“Contohnya 7 perusahaan memiliki buzzer, 10 perusahaan memegang survey, dan posisi berita, 1 portal punya 10 akun (medsos), artinya berkali lipat jumlah pengunjung media online, ketika buzzer berjalan dan survey mengiringi, karena media ke depan ini bisnis,” katanya.
Bisnis itu investasi dan kerja keras. Seluruh peluang harus ditangkap. Kunci kesuksesan perusahaan ada di sumber daya manusa (SDM), SDM kata dia yang paling mahal. “Peralatan bisa dibeli namun SDM tidak,” katanya.
Dan, lanjut Firdaus, SDM yang kuat bisa memelihara perusahaan, semua pengusaha media bisa meraih kesuksesan, dikarenakan, sistem itu harus lahir dari proses, akan berbeda kultur di setiap proses, sistem dibagun dengan kultur dan mengembangkan SDM.
“Untuk jadi pengusaha kita harus menghitung, memberi, tangan diatas, bukan kita yang dihitung, atau selalu tangan dibawah,” kata.
Sementara, Adolof Hidayatullah, Pengurus PWI Lampung, yang bicara soal etika jurnalisik menyatakan bahwa kode etik adalah aturan moral. “Lebih baik kita dipenjara karena mempertahankan etika, ketimbangkan kita disebut sesama profesi tidak beretika, ” katanya. N (jun/rls)