Jakarta, sinarlampung.co-DPR RI telah menyetujui revisi Undang-Undang tentang Perubahan ke-3 atas UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi RUU Usul Inisiatif DPR RI. Keputusan tersebut diambil dalam paripurna. Rapat paripurna DPR RI ke-18 Masa Persidangan ke-V Tahun Sidang 2023-2024 digelar di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta Pusat.
Rapat paripurna dipimpin langsung oleh Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad. Turut hadir dalam rapat ini Wakil Ketua DPR yang lain Rachmat Gobel, Lodewijk F Paulus, dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Pengesahan Revisi UU tersebut dilakukan sekaligus dengan RUU Kementerian Negara, RUU Keimigrasian dan RUU TNI.
“Terhadap keempat RUU usulan Badan Legislasi tersebut, contohnya tentang RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti bintara dan tamtama batas usia pensiun 58, perwira 60 tahun, atau bintara dengan kebutuhan organisasi berusia 60 tahun dengan mekanisme sendiri,” ujar Dasco menyampaikan poin perubahan dalam RUU tentang Kepolisian RI.
Dasco mengatakan apabila anggota Polri tersebut memiliki keahlian khusus maka batas usia pensiunnya bisa diperpanjang selama 2 tahun. Para anggota DPR RI menyetujui hal itu. “Dan apabila memiliki keahlian khusus, batas usia pensiun dapat diperpanjang paling lama 2 tahun. Demikian contohnya. Apakah dapat disetujui?” ujar Dasco.
“Setuju,” jawab anggota yang lain.
Sebelumnya, Dasco menjelaskan alasan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) akan direvisi. Dia mengatakan akan ada perubahan terkait usia pensiun Polri seperti yang telah berlaku di lembaga hukum lainnya, yakni Kejaksaan Agung.
“Jadi begini, DPR itu pada dua tahun lalu itu juga sudah melakukan revisi Undang-Undang Kejaksaan dan itu juga terkait dengan usia pensiun dan usia jabatan fungsional,” kata Dasco di gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Senin 20 Mei 2024.
Ketua Harian Gerindra ini menyebut ada permintaan soal revisi UU Polri dan TNI agar sama dengan UU Kejaksaan. Dengan demikian, lanjut Dasco, ketentuan itu sama dengan penegak hukum lainnya terkait masa pensiun dan masa berakhirnya jabatan fungsional.
“Oleh karena itu, pada waktu itu juga sudah ada permintaan untuk melakukan revisi UU Polri dan TNI agar dapat sama dengan UU Kejaksaan tentang masa pensiun dan juga untuk masa berakhirnya jabatan fungsional.Kita melihat situasi dan kondisi kemarin juga karena pemilu ini kita tunda, sekarang itu juga supaya semua sama di antara para penegak hukum ini, kita kemudian melakukan juga revisi,” ujar Dasco.
Minim Partisipasi Publik
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, menilai secara umum draft RUU Polri tidak menjawab masalah yang selama ini ada di institusi Polri. Justru banyak ketentuan dalam RUU yang berpotensi menambah masalah baru. “Berdasarkan draft yang kami terima, RUU Kepolisian memuat sejumlah pasal yang memperluas kewenangan Kepolisian serta membuka ruang bagi perpanjangan batas usia pensiun bagi anggota Polri,” kata Dimas, Senin 27 Mei 2024.
Sama seperti RUU lain yang dikritik publik, Dimas melanjutkan proses perumusan dan pembahasan RUU Polri minim partisipasi publik secara bermakna, dan substansinya bermasalah. Dimas mencatat sedikitnya 5 hal yang penting dicermati dalam RUU Polri.
Pertama, memperluas kewenangan Polri untuk juga melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap ruang siber yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan saling bertentangan dengan UU No. 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi.
Kedua, RUU Kepolisian juga menambahkan pasal mengenai perluasan kewenangan untuk melakukan penyadapan, dan perluasan kepada bidang Intelijen dan Keamanan (Intelkam) Polri. Perluasan itu memberi kewenangan Polri untuk melakukan penggalangan intelijen, yang dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan Badan Intelijen Negara dan pengaturannya kabur karena absen UU khusus terkait penyadapan.
Ketiga, RUU Kepolisian tidak memperkuat dan menegaskan posisi serta kewenangan lembaga pengawas atau oversight terhadap Polri, seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Keempat, terkait masih diaturnya Pam Swakarsa. Kelima, bertambahnya batas usia pensiun.
Penjelasan Dasco
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan revisi terhadap UU 2/2002 dilakukan untuk menyamakan batas usia pensiun dengan penegak hukum lainnya. “Supaya semua sama di antara para penegak hukum. Ini kami kemudian juga melakukan revisi (UU Polri),” kata Dasco sebagaimana dikutip Antaranews.
Dasco menyebut revisi itu dilakukan sebab tahun 2021 lalu DPR telah merevisi UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Sebagian substansi yang direvisi mengenai usia pensiun dan usia jabatan fungsional di korps adhyaksa itu.
Lantas ada permintaan untuk merevisi UU 2/2002 dan UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Tujuannya menyamakan dengan hasil revisi UU 16/2004. “Pada waktu itu juga sudah ada permintaan melakukan revisi Undang-Undang Polri dan TNI agar dapat sama dengan Undang-Undang Kejaksaan tentang masa pensiun dan juga untuk masa berakhirnya jabatan fungsional,” ujar Dasco.
Rencana merevisi UU 2/2002 itu juga dikonfirmasi anggota Badan Legislasi DPR Guspardi Gaus. Proses revisi masuk dalam kajian yang dilakukan tim ahli Baleg DPR. Beberapa substansi yang diubah antara lain masa pensiun dan jabatan fungsional.
“Pertama memperpanjang masa pensiun. Kedua, adalah manakala ada kepolisian yang dia pindah dalam jabatan fungsional, di mana-mana kan di K/L, ASN kalau pangkatnya sudah IVA ke atas itu pensiunnya kan bisa diperpanjang kalau dia fungsional atau edukasi menjadi 65 tahun. Kalau dia eselon satu tidak fungsional pensiunnya 60 tahun,” ujar dia.
Revisi UU TNI
Kalangan masyarakat sipil juga menyoroti rencana revisi UU 34/2004. Peneliti senior Imparsial, Al Araf mengatakan politik hukum pembentukan UU 34/2004 ditujukan sepenuhnya untuk membentuk TNI yang profesional. Oleh karenanya beleid itu memberi tugas kepada TNI untuk fokus sebagai alat pertahanan negara.
Dia menilai UU 34/2004 dibentuk dalam konstruksi politik yang menginginkan Indonesia berada dalam sistem demokrasi. “Sehingga militer sebagai instrumen pengguna kekerasan yang dikendalikan oleh pemerintahan sipil sepenuhnya ditujukan untuk menjadi profesional,” ujarnya.
Selaras itu tujuan UU 34/2004 ditujukan agar TNI tunduk pada peradilan umum dalam melakukan pidana umum. Tujuannya untuk memperkuat akuntabilitas dan transparansi serta prinsip equality before the law dalam penegakan hukum di Indonesia. Masalahnya, RUU TNI tidak ditujukan untuk membentuk militer Indonesia yang profesional.
Tapi sebaliknya menjadi tidak profesional dan membahayakan demokrasi. Militer tidak boleh diberi ruang untuk kembali dalam kehidupan sosial dan politik. Ketika pintu itu dibuka akan sulit untuk menutupnya. Revisi UU TNI yang dibahas DPR akan menjadi kotak pandora dan ruang baru bagi kembalinya militer dalam fungsi-fungsi di luar pertahanan. “Hal itu akan membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum, dan HAM,” katanya. (Red)