Jakarta, sinarlampung.co-Pasal pencemaran nama baik di Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bisa dihindari dengan sejumlah syarat. Pekan lalu, Rapat Paripurna DPR mengesahkan revisi kedua UU ITE yang memuat sejumlah perubahan, termasuk ketentuan soal pencemaran nama baik.
Pasalnya, ketentuan ini di UU ITE lama, terutama Pasal 27 dan 45, dituding pasal karet lantaran tak tegas rumusannya. Alhasil, ini kerap dipakai untuk mengkriminalisasi kebebasan berpendapat hingga disindir sebagai pasal karet.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong mengatakan UU ITE terbaru ini memberi celah bagi pendapat di ruang digital untuk bebas jeratan kasus. “Pengecualian itu diatur di pasal 45. Jadi pengecualian itu ada tiga,” katanya, dilangsir CNNIndonesia.com, Jumat 8 Desember 2023.
Pertama, kata Usman, “kalau pernyataan pendapat itu di media digital atau ruang digital, di internet, itu untuk kepentingan publik. Kedua, untuk pembelaan diri. Ketiga, apabila konten berbau seni budaya, kemudian ilmu pengetahuan. “Jadi pengecualiannya ada tiga, untuk kepentingan publik, untuk pembelaan diri dan kontennya seni budaya atau ilmu pengetahuan,” katanya.
Dalam revisi UU ITE pasal 45 ayat (4), (5), (6), dan (7) mengatur sanksi pidana yang bisa menjerat masyarakat karena konten di media sosial. Berikut rinciannya:
Ayat (4) Setiap Orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp400.000.000.
Ayat (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tindak pidana aduan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana dan bukan oleh badan hukum.
Ayat (6) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan bertentangan dengan apa yang diketahui padahal telah diberi kesempatan untuk membuktikannya, dipidana karena fitnah dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000.
Ayat (7) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dipidana dalam hal:a. dilakukan untuk kepentingan umum; ataub. dilakukan karena terpaksa membela diri.
Apa yang dimaksud dengan kepentingan umum?, dalam bagian penjelasan, aturan ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “dilakukan untuk kepentingan umum” adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa atau kritik.
“Dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan atau tindakan orang lain,” demikian penjelasan Pasal 45 ayat (7) huruf a. “Pada dasarnya, kritik dalam pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat,” lanjut penjelasan ini.
Meski demikian, aturan-aturan baru dalam revisi kedua UU ITE ini disebut masih punya celah buat mengkriminalisasi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, misalnya, mencatat sedikitnya ada tujuh pasal dengan ayat turunannya yang dinilai masih bermasalah dalam UU ITE yang baru. Pasal-pasal itu di antaranya Pasal 26, Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2) dan (3), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat (1) dan (2), dan Pasal 45 terkait pemidanaan.
Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mengatakan sejumlah pasal itu dinilai masih menjadi ancaman terhadap kebebasan demokrasi dan peluang kriminalisasi menjelang Pemilu dan Pilpres 2024. Ia menyoroti Pasal 27 ayat 3 yang masih dipertahankan dalam UU ITE.
Menurutnya, aturan terbaru hanya mengurangi masa hukuman untuk pencemaran nama baik, dan berlaku ketentuan delik aduan absolut. Artinya, proses pidana lewat pasal itu hanya berlaku jika diadukan oleh pihak yang dirugikan. “Kewenangan besar pemerintah yang diberikan melalui pasal ini dikhawatirkan akan menjadi alat sensor informasi dan suara kritis publik,” kata Arif.
Alasan Revisi
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE) disahkan pada tanggal 21 April 2008 dan menjadi cyber law pertama di Indonesia.
Pada 27 Oktober 2016 rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Pasal yang diubah adalah Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3).
Berikut rincian pada Undang-Undang tentang Informatika dan Transaksi Elektronik tersebut:
Menghindari multitafsir ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 Ayat (3), dilakukan 3 (tiga) perubahan sebagai berikut:
- Menambahkan penjelasan atas istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik”;
- Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum; dan
- Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disampaikan kepada DPR RI sebelum disahkan. UU ITE diundangkan pada 21 April 2008 dan menjadi cyber law pertama di Indonesia.
Menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:
- Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diturunkan dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (tahun) dan/atau denda dari paling banyak Rp1 miliar menjadi paling banyak Rp750 juta;
- Ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun menjadi paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp2 miliar menjadi paling banyak Rp750 juta.
Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:
- Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang Undang;
- Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hokum yang sah.
Melakukan sinkronisasi ketentuan hokum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:
- Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP;
- Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1×24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):
- Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi;
- Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.
Menambahkan ketentuan mengenai “right to be forgotten” atau “hak untuk dilupakan” pada ketentuan Pasal 26, sebagai berikut:
- Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan;
- Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.
Memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:
- Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan Informas Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang;
- Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
(Red)