Jakarta (SL) – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) terhadap UUD 1945 pada Selasa (22/1/2019). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 102/PUU-XVI/2018 ini dimohonkan oleh para dosen yang terdiri dari Yovita Arie Mangesti, Hervina Puspitosari, Bintara Sura Priambada, dan Ashinta Sekar Bidari.
Para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, terutama frasa “penyidikan”. Awalnya, agenda sidang dijadwalkan untuk mendengar keterangan Pemerintah, namun sidang tersebut ditunda karena Pemerintah menyatakan belum siap memberikan keterangan.
Hal ini disampaikan Kepala Biro Bantuan Hukum Kementerian Keuangan Tio Serepina Siahaan menyatakan Pemerintah sudah mengirim surat untuk penundaan. “Kami masih perlu meminta perpanjangan waktu. Sebab memerlukan koordinasi di internal pemerintah,” ujar Serepina.
Menanggapi hal tersebut, Ketua MK Anwar Usman pun menjelaskan sidang akan dilanjutkan pada Kamis, 7 Februari 2019 pukul 11.00 siang dengan agenda mendengar keterangan DPR, Pemerintah, serta OJK sebagai Pihak Terkait.
Dalam permohonan sebelumnya, Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Pemohon mendalilkan dalam menjalankan wewenangnya, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri.
Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP. Namun menurut Pemohon, menerangkan bahwa terhadap wewenang penyidikan yang diberikan UU OJK kepada PPNS OJK, sama sekali tidak ada ketentuan norma yang secara eksplisit menyatakan: “Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang hukum acara pidana”, atau setidak-tidaknya menyatakan: “Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Pemohon mempermasalahkan wewenang penyidikan dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK tidak mengaitkan diri dengan KUHAP. Isinya menyebut PPNS OJK berwenang meminta bantuan aparat penegak hukum.
Artinya, lanjut Pemohon, jika tidak dibutuhkan, maka PPNS OJK dapat melakukan penyidikan tanpa berkoordinasi ataupun meminta bantuan penegak hukum lainnya yakni penyidik Polri.
Pemohon menegaskan, apabila melihat wewenang Penyidik OJK yang termuat dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK, terdapat beberapa ketentuan norma yang melanggar asas due process of law dan dapat menimbulkan kesewenangan-wenangan dari penyidik OJK. Pemohon berpendapat Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, terutama frasa “penyidikan”, yang memberikan wewenang penyidikan bertentangan dengan asas due process of law dalam sistem penegakan hukum pidana (criminal justice system), serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi seseorang yang disangka melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan. (MKRI)