Bandarlampung (SL)-Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung membentuk dewan Etik menyikapi laporan dari Jaringan Pemuda Republik Indonesia (Japri) terkait hasil hasil survey Rakata Institute, yang diduga banyak menimbulkan masalah di masyarakat.
Pembentukan Dewan Etik itu berdasarkan setelah KPU Lampung menggelar rapat pleno, Selasa, 17 April 2018. Ketua KPU Lampung Nanang Trenggono mengatakan, PKPU Nomor 8/2017 menjadi dasar KPU Lampung untuk memproses laporan warga tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga survei Rakata Institute beberapa waktu lalu.
“Laporan Japri, Hermawan, koordinator presidium. Namun, belum disertai identitas pelapor. Hasil rapat pleno KPU Lampung menugaskan pokja dari sekretariat untuk meminta kopi e-KTP,” ujar Nanang seusai rapat pleno, Selasa (17/04).
Soal nama-nama anggota Dewan Etik, Nanang mengatakan, pihaknya belum bisa membeberkan. “Nama-nama Dewan Etik belum bisa saya share kepada wartawan. Alasan saya, karena belum ada identitas pelapor. Selain itu, para kandidat Dewan Etik masih dikonfirmasi kesediaannya. Insya Allah, minggu ini sudah kami undang. Bila hasil konfirmasi kepada pelapor berjalan lancar,” jelasnya.
Menurut Nanang, anggota Dewan Etik terdiri dari lima orang yang pakar di bidangnya, termasuk akademisi. “Dua akademisi. Kami libatkan profesor statistik dan ahli metodologi yang berpengalaman dan berintegritas. Dua lagi pakar atau ahli survei yang andal. Satu lagi dari KPU Provinsi,” jelas Nanang.
”Setiap indikator (yang diduga pelanggaran) akan didalami dan diverifikasi. Misalnya dalam survei harus wawancara secara faktual. Benarkah lembaga survei melakukan wawancara? Akan didalami dan diverifikasi lebih dalam secara faktual,” paparnya.
Sementara itu, Survei yang dirilis oleh Rakata Institute dengan menyebutkan tanpa kehadiran pasangan calon petahana M.Ridho Ficardo – Bachtiar Basri pada pilgub 27 Juni 2018 dinilai akademisi politik Universitas Lampung (Unila), Yusdianto bahwa hasil tersebut terindikasi sekedar gebrakan menggiring opini publik terhadap salah satu kandidat dan terkesan asal-asalan.
“Apa alasan lembaga Rakata Institute menyebutkan ‘Pilkada tanpa petahana’. Padahal masyarakat mengetahui bahwa pilgub tahun ini diikuti oleh empat pasangan calon termaksud petahana. Apakah ini salah satu langkah untuk meningkatkan elektabilitas dan popularitas dari salah satu kandidat saja,”kata Yusdianto dikutif dari Sinar Lampung.com, Kamis (12/04).
Hasil survey Rakata Institute yang menyebutkan adanya seleksi alam sehingga menempatkan paslon Arinal Djunaidi – Chusnunia Chalim dan Herman HN – Sutono sebagai final ideal di ajang pesta demokrasi lima tahunan tingkat provinsi tersebut untuk memfokuskan masyarakat atau publik kedua sosok paslon tersebut.
Padahal, dalam penilaian kualitas personal calon, Rakata Institute menyebutkan bahwa sifat kepemimpinan terpenting harus dimiliki calon Gubernur/Wakil Gubernur Lampung, yakni Jujur dan bersih dari korupsi mencapai 50,30 persen. Kemudian, penilaian kedua, peduli atau perhatian pada rakyat mencapai 36,10 persen.
“Kita (masyarakat Lampung) mengetahui, bahwa sosok M.Ridho Ficardo tidak pernah berurusan masalahan hukum terkait korupsi dan perhatian dengan rakyat selama menjabat sebagai gubernur periode 2014 – 2019. Kita juga mengetahui bahwa kandidat lainnya juga diindikasi pernah berurusan oleh hukum,”katanya.
“Misalnya saja belum hilang dalam ingatan, dulu pak Arinal pernah di demo oleh Puluhan orang yang mengatasnamakan ormas eL-SAK Lampung berunjuk rasa di depan gerbang Kantor Kejati Lampung terkait dugaan penyelewengan dan penyalahgunaan APBD 2015 di beberapa biro sat Arinal menjabat sebagai Sekdaprov Lampung. Kalau tidak salah saya juga pernah membaca berita yang menyebutkan Chusnunia Chalim wakil dari Arinal Djunaidi diperiksa penyidik KPK sebagai saksi untuk Charles Jones Mesang, tersangka kasus dugaan korupsi di Direktorat Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (P2KTrans) sebagai mantan anggota Komisi IX DPR,”tegasnya.
“Selain itu, kita juga mengetahui bahwa Wali Kota Bandar Lampung Herman HN pernah diperiksa Kejaksaan Agung di Jakarta terkait dengan kasus dugaan korupsi Perizinan Reklamasi Teluk Lampung. Sementara calon gubernur Mustafa telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus suap ke pihak DPRD Lampung Tengah untuk memuluskan langkah peminjaman Rp 300 miliar ke PT SMI,”tegasnya.
Di lain sisi, ia menilai pasangan petahana calon gubernur – wakil gubernur Lampung memiliki keunggulan ketimbang calon baru, misalnya saja dari segi popularitas. Sebab, sosok petahana sudah lebih dikenal masyarakat sebagai sosok kepala daerah yang memimpin daerahnya dalam kurun waktu sekitar lima tahun.
“Jadi ada kedekatan emosional antara petahana dan masyarakat. Karena adanya kinerja, kebijakan publik dan program yang diimplementasikan untuk kemajuan daerah tersebut. Sehingga ada peluang bagi petahana,”jelasnya.
Ia berharap, lembaga penyelenggara pemilu maupun lembaga lainnya dapat mengawal dengan baik pelaksanaan pilgub 2018 mendatang. Karena ini untuk kemajuan provinsi Lampung dalam mencari sosok pemimpin yang amanah dan berniat memajukan Bumi Ruwa Jurai periode 2019-2024. (trb/nt/*)