Jakarta (SL) – Mahasiswa Universitas Hsing Wu Taiwan asal Indonesia tidak wajib menjalani pekerjaan part time selama 20 jam seperti yang ramai diberitakan. Kepala Perwakilan Taipei Economic Trade Officer (TETO) John C. Chen menyampaikan hal itu di Gedung Artha Graha, Jakarta Selatan, Jumat (4/1), menyusul polemik terkait pemberitaan kerja paksa 300 mahasiswa Indonesia.
Sesuai dengan peraturan Pemerintah Taiwan, dalam tahun pertama mahasiswa Indonesia, empat hari bekerja (part time di luar ikatan kampus), satu hari belajar dan jatah dua hari libur. Kerja part time, selama 10 jam yang terbagi delapan jam magang dua jam waktu beristirahat dalam sehari, kata John C. Chen.
Pada tahun kedua juga sama. Bedanya, ada kewajiban mahasiswa mengikuti magang. Magang selama 10 jam, dua jamnya waktu beristirahat. Kemudian masalah yang muncul, mahasiswa ada yang belum bersedia melepas part time, sementara magang sudah di depan mata. Akhirnya muncullah “bekerja selama 20 jam”.
Pemerintah Taiwan memperbolehkan mahasiswa untuk bekerja yang tidak terikat dengan universitas. “Pekerjaan yang magang selama 20 jam itu boleh dan berhak untuk tidak menerima tawaran pekerjaan tersebut. Tentu konsekuensinya tidak ada pemasukan buat mahasiswa tersebut untuk membayar kuliah,” ungkap John.
John menuturkan, mencari pekerjaan part time tersebut hanya terdapat di universitas-universitas yang memperbolehkan part time. “Namun benar program ini dikhususkan untuk siswa yang kondisi ekonominya kurang mampu, sehingga dia bisa mengambil bekerja sambil kuliah,” tuturnya.
Sehingga kata John, setelah kembali ke Indonesia sudah mendapatkan gelar S1, hal itu lebih baik dari pada hanya sekadar sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). “Alangkah baiknya dia hanya sekedar sebagai TKI contohnya,” tuturnya.
Dan bagi mahasiswa Indonesia yang tidak berkenan dengan program tersebut, mahasiswa bisa mengambil jalur reguler dimana waktu magang dan part time tidak dibatasi oleh pemerintah Taiwan. Sebelumnya Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Taiwan Sutarsis menyampaikan bahwa tidak ada kejadian kerja paksa, hanya saja kelebihan jam kerja. “Karena menurut para mahsiswa yang ikut mereka memang tahu harus kuliah dengan kerja. Hanya saja ada kelebihan jam kerja yang sehingga menyalahi aturan. walaupun semua dibayar. “Tapi menurut kami proporsi studi harus tetap di pertimbangkan menjadi yang utama,” ungkapnya.