Sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa di dunia konstruksi, rekanan pemasok, supplier dan lain-lain ada persyaratan teknis dalam setiap tender pekerjaan yakni fee 20 -22 persen untuk setiap paket pekerjaan yang harus disetor, jika kalian ingin dapat paket pekerjaan.
Di kalangan dunia usaha kontraktor, pemborong, bisnis konstruksi maupun supliyer atau pemasok, hal ini sudah dianggap biasa saja dan wajib diikuti oleh semua pengusaha. Meskipun hal ini tidak tertulis apalagi di perdakan, atau surat edaran kek, instruksi bupati, walikota, gubernur kek. Tidak ada sama sekali.
Bahkan pada saat pengusaha atau kontraktor setor duit pada oknum pejabat melalui stafnya, tidak ada sama sekali bukti tanda terima atau kuitansi. Kata mereka sama-sama saling percaya dan saling menghargai sesama perkawanan . Jikalau uang sudah disetor tapi proyek gak dapat, inilah kasusnya jadi panjang dan berakhir ke pengadilan, Polisi hingga penjara. Dengan dakwaan penipuan, pembohongan, tilep menilep dan ingkar janji.
Siapa pun rezim pemerintahan apalagi tingkat kepala daerah tidak ada yang berani berantas ketentuan tidak tertulis ini dalam dunia tender konstruksi proyek, pengadaan atau supliyer. Apalagi siapapun penguasa tak mampu memberantasnya termasuk KPK, Jaksa Agung dan gendruwo anti korupsi.
Ditambah dalam era demokrasi langsung Pilkada dengan Hight Cost Politics ini pastilah alasan para kandidat terutama petahana untuk mempertahankan kekuasaannya dengan dalih mengumpulkan dana kampanye dalam Pilkada mendatang. Meskipun sudah banyak para bupati, walikota, gubernur tersungkur akibat ulahnya dengan kasus penangkapan oleh KPK.
Ibarat virus, korupsi termasuk gampang-gampang susah dimusnahkan. Belum ada vaksin anti korupsi yang sanggup meredam penyebaran virus tersebut sampai ke akar-akarnya. Lembaga superbodi sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi pun belum mampu menghentikan budaya korupsi.
Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan dianggap wajar oleh masyarakat. Tindakan memberi hadiah kepada pejabat atau pegawai negeri, bahkan keluarganya, sebagai imbal jasa sebuah pelayanan dipandang lumrah sebagai bagian dari budaya ketimuran.
Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi di dalam UU itu dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang lahir sebelum negara ini merdeka.
Jika merujuk UU No 31/1999 juncto UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi, kebiasaan berperilaku koruptif, yang selama ini dianggap sebagai hal wajar dan lumrah, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Pemberian gratifikasi atau pemberian hadiah kepada penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, jika tidak dilaporkan ke KPK, dapat menjadi salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Instruksi Presiden No 7/2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Dalam inpres itu, terdapat 96 butir aksi yang harus dilaksanakan selama tahun 2015. Inpres yang ditujukan kepada kementerian atau lembaga serta pemerintah daerah itu dimaksudkan untuk memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat dan membentengi kebijakan dari tindak pidana korupsi.
Terkait hal itu, presiden berharap agar aksi dilakukan dengan sebaik-baiknya, tak sekadar formalitas. Melalui inpres itu, presiden juga meminta dihilangkannya pungutan liar dan birokrasi yang berbelit.
Persoalannya sederhana, korupsi sudah ada sejak republik ini berdiri. Perilaku koruptor sudah sangat sulit dilenyapkan karena telah mendarah daging berpuluh tahun. Mereka (koruptor) memiliki beribu modus operandi untuk menggangsir uang negara. Laiknya tindak pidana umum, pelaku korupsi selalu berada selangkah di depan penegak hukum.
Korupsi, menurut Philip (1997), adalah tingkah laku dan tindakan seseorang pejabat publik yang menyimpang dari tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengan pelaku korupsi, seperti keluarga koruptor, karib kerabat koruptor, dan teman koruptor.
Pengertian ini juga mencakup kolusi dan nepotisme pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit. Pengertian korupsi oleh Philip dipusatkan pada korupsi yang terjadi di kantor publik.
Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest centered). Dikatakan, korupsi telah terjadi apabila seorang pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik melakukan tindakan-tindakan tertentu untuk orang-orang yang akan memberikan imbalan, baik itu uang atau materi lain, sehingga merusak kedudukan dan kepentingan publik.
Jadi pintar-pintar lah kalian mengelola taktik dan strategi korupsi dengan teknik berbagai cara yang canggih asal tidak ketahuan KPK atau Jaksa. Jika anda tertangkap tangan dan diproses hukum jangan menyesal nanti anda dipenjara karena perbuatan kalian, anak istri dan keluarga besar malu dan menjadi bulian tetangga dan publik seperti mantan Mensos dan Menteri KKP itu. ***
Ilham Djamhari, wartawan senior